Jualan itu adalah wajah paling konkrit dari filsafat materialisme. Namanya orang jualan, ya cari laba, itu logika normalnya. Apa definsi laba dalam konteks filsafat ini? Tentu saja materi. Maka untuk mengasisteni proses pencapaian ini, dibuatlah mekanisme riba dan manipulasi kekuasaan, entah bentuknya monarki, oligarki, maupun demokrasi. Dan ini kecenderungan umum dari semua manusia, karena dikaruniai nafsu.
Maka Allah begitu Maha Mencintai manusia, Dia utus para nabi dan Rasul membawa risalah Islam. Dengan Islam itu, manusia dididik untuk mengontrol dirinya agar tidak larut dalam nafsu dan materi. Berdagang boleh, tapi dengan pemahaman Islam, dagang adalah bentuk dari realisasi kerja-ibadah. Maka dengan Islam, konsep laba diredefinisi, konsep miskin-kaya, bahagia-sengsara diredefinisi. Islam halus merasuk dalam sanubari manusia yang mau membuka diri untuknya.
Maka, manusia yang muslim berarti siap menjadi agen keselamatan dan kedamaian. Manusia yang mukmin berarti siap menjadi agen yang mengamankan dan menyamankan kehidupan. Jika sudah ber-Islam, mungkinkah akan korupsi, mencuri, mencela, menghina, dan menginjak-injak martabat manusia lainnya? Jika sudah ber-iman, mungkinkah akan menggantungkan kehidupan pada selain Allah? Sedangkan dia memberi jaminan penuh kepada kita atas kehidupan sehingga kita harusnya pede 100% untuk mengamankan manusia lainnya. Sudahkah? Saya ternyata belum.
Maka ketika materialisme mendesain manusia agar menindas manusia lainnya demi materi, maka Islam menawarkan konsep egaliter dan mendelegitimasi kekuasaan. Maka imam dalam Islam itu berfungsi sebagai koordinatornya manusia, bukan Gustinya manusia. Itulah mengapa mafhum bagi kita bahwa amirul mukminin adalah orang yang paling pertama dan paling maksimal menegakkan Islam pada dirinya, sebelum mengatur manusia yang lainnya. Maka jika sekarang kok dalam kepemimpinan terkesan nggatheli dan nggilani, cukup kita tanya secara terbalik, temenan Islam po dewe saiki?
Maka adalah sebuah kenaifan jika kehadiran Islam justru membentuk legitimasi kepada segolongan manusia untuk mendikte manusia lainnya, bahkan jadi satpam yang sampai-sampai tahu manusia lainnya itu bakal masui syurga atau neraka. Bahwa dalam kategorisasi manusia ada yang dikaruniai kelebihan sehingga mereka kita sebut ulama, peran mereka adalah pembuka pintu-pintu ajaran Islam, bukan malah didewakan semacam Rahib2 Nasrani dan Yahudi. Kebiasan umat Islam hari ini yang salah sikap dalam memuliakan cenderung berubah menjadi fanatisme. Bahwa dalam kehidupan kita ada orang munafik, peran mereka adalah menguji kewaspadaan batin kita. Dan alangkah naifnya jika kita tidak mengontrol kemunafikan dalam diri kita, tapi suka ngaran-ngarani personal lainnya sakgeleme dewe.
Maka negara Islam itu justru berangkat dari kesadaran ber-Islam itu sendiri. Maka di dalamnya tidak perlu banyak pasal2 hukum, lha buat apa wong mayoritas bukan pencuri, tukang selingkuh, tukang korupsi, tukang fitnah, karena penerapan Islam-nya anggota masyarakat sudah mampu mengendalikan mereka untuk tidak berbuat demikian. Makanya ulama menjadi hakim hanya ketika dijumpai kasus-kasus yang di luar keumuman masyarakat. Lha kalau bangsa kita sekarang sedang pesta korupsi, pesta mencela, dan segala yang “nganu” begitu, tinggal pertanyakan kembali, temenan Islam po dewe saiki?
Puncak dari Islam itu adalah kesadaran penuh kepada Allah. Maka inti dakwah Islam itu penyadaran, bukan pemaksaan. Dan jika umat Islam kok begitu menikmati saat terpaksa harus melakukan tindakan represif, misal terpaksa membubarkan lokalisasi, pertanyakan kembali, temenan Islam po dewe saiki? Maka jika hari ini Islam begitu sulit ditemukan, waspadai bahwa mungkin casing kita Islam, KTP kita Islam, tapi akidah kita sudah materialisme. Karena materialisme, tak segan-segan juga meminjam Islam untuk memetik keuntungan duniawi. Yang namanya jualan untuk cari laba, apa ada keinginan untuk merugi secara materi? Tentu tidak. Itulah mainstream kehidupan kita sekarang. Selamat menikmati!
Jangan lupa untuk selalu bertanya, APA HARI INI KITA MASIH SEORANG MUSLIM?
Surakarta, 14 Agustus 2015