Jika dengan Islam yang dipeluk kok masih tidak sanggup untuk membuat kita menahan diri agar tidak mencuri, tidak memfitnah, tidak selingkuh, tidak korupsi, tidak menindas rakyat, sehingga akhirnya menggantungkan kehidupan dari lembaga-lembaga penegak hukum agar mengawasi, berarti ada problem serius dalam ke-Islam-an kita.
Maka saya selalu percaya bahwa proses budaya dan sosial dalam membangun perubahan di tengah masyarakat adalah pilihan terbaik. Kuncinya ada pada pendidikan dan kesadaran sejarah. Memang lama sih. Wong Kanjeng Nabi yang insan kamil saja butuh waktu 23 tahun kok untuk proses transformasi masyarakat agar menjadi beradab. Apalagi kita yang denotasinya Islam nggak ngerti, denotasi diri kita sendiri kadang juga tidak tahu. Yo mangkane sabar, 100 tahun pun belum tentu berhasil boy.
Apalagi sekarang sarananya semakin modern. Percayalah, yang cepat-cepat itu hanya cocok untuk dagang dan ingin untung besar. Jika ingin membangun peradaban Islam agar berjaya kembali ya sabarlah berproses, bahkan sampai mati pun kita mungkin belum melihat hasil kemajuan peradaban itu secara nyata, karena kita sedang berjuang keras melawan filsafat materialisme yang memundurkan peradaban manusia menuju titik nadirnya.
Jadi, apakah Islam yang kita peluk sudah mampu membentuk kesadaran hukum, kesadaran moral, dan ketegaran dalam diri kita agar tidak merampas hak orang lain? Jika belum, berarti kita masih “nganu”.
Surakarta, 13 Agustus 2015