Turut menyimak percakapan panjang di salah satu status guru saya. Hahaha, ketahuan ngeyelnya orang yang sak klek dengan konsepsinya atas manusia lainnya. Padahal yang namanya manusia itu ada sisi baik dan sisi buruk. Dari pada mengecap salah satu sisinya saja (terutama sisi buruk) secara membabi buta, tak jarang hingga memvonis mereka masuk neraka, mbok dipelajari secara lengkap saja, yang baik dan disetujui ya diikuti, yang buruk dan tidak disetujui ya ditinggalkan.
Dan di abad modern ini, di mana dikotomisasi adalah hal yang mainstream, di mana manusia itu bisa diaran-arani ahli ngene ahli ngono, sampai-sampai kalau dia dianggap pakar A lalu dianggap tidak paham masalah B (padahal hampir setiap manusia pakar mbadog karo turu, betapa pun bervariasi) akhirnya karya para pendahulu muslim akan mudah dilecehkan. Pelecehan ini pun lahir juga hanya karena piciknya pengetahuan hingga sekelas Ibnu Athailah dilecehkan sebagai ulama sesat.
Ibnu Athailah saja dibegitukan, apalagi ulama-ulama lain yang juga menjadi penemu sains dan dianggap lebih liberal lagi. Padahal mereka manusia, lengkap dengan sisi kebaikan dan sisi keburukannya. Kita juga manusia, tetapi mungkin lebih “nganu” karena begitu tidak sopannya dan biasa membuat pelecehan sejarah semacam itu. Itulah yang membuatku melakukan banyak koreksi perjalanan belajarku tentang Islam sejauh ini, agar tidak menjadi generasi yang lancang dengan mendakwa para pendahulu dengan kritik ngawur dan memvonis sesama umat Islam secara keterlaluan.
Inilah abad pelecehan yang saya rasakan dan saya saksikan. Baik dalam masalah kalam akidah, ilmu hadits, sejarah, dan apa pun yang menjadi perbendaraan Peradaban Islam dilecehkan secara naif dan ngawur oleh generasi-generasi yang lahirnya belakangan, yang silsilah ilmu-ilmu mereka tidak bersambung, yang akhlak mereka jauh dari para pendahulu yang shalih itu. Jika tak tahan untuk membuat pelecehan, mending lecehkan pemerintahmu yang jelas-jelas di depan mata melecehkan rakyat, padahal mereka telah memberikan amanah itu kepada pemerintah untuk mengelola negeri ini. Itu buktinya sudah jelas di depan mata ketimbang menggibah para ulama dengan comot sana sini, copas link sana link sini lalu menyimpulkan ulama ini itu sesat.
Sebagai anak muda dengan usia baru seperempat abad, melihat praktek konyol semacam ini terkadang masih bikin darah mendidih dan ingin balas menghantamnya. Tapi sudahlah, karena membalas celaan dan pelecehan itu tidak ada tuntunannya dari Kanjeng Nabi. Marah itu adalah bagian dari reaksi jiwa, tetapi sesaat saja dan sembunyi saja agar tak berakibat buruk pada yang lain. Semoga yang ngeyel-ngeyel semacam itu segera sadar betapa kita itu jauh lebih “nganu” dibandingkan para ulama pendahulu yang shalih itu. Ora sah ngendhas-ndhasi ngono, mundak kualat Dab.
Surakarta, 15 Agustus 2015