Sebelum ada makhluk yang bernama negara, masyarakat Nusantara telah hidup dan mengelola tanah mereka yang diwariskan turun temurun. Mereka bertetangga satu sama lain, guyub rukun. Mereka hidup dalam tata nilai dan norma yang dibangun secara komunal dan bernasab pada kebudayaan raja atau ulama panutan mereka. Dalam kehidupan asal ini mereka hanya mengenal pengabdian. Tidak mengenal konsep kaya dan miskin, karena mereka tak merasa memiliki bumi atau apa pun, mereka hanya mengolah apa yang Tuhan titipkan pada mereka. Jika mereka berkelahi dan berperang, lebih karena urusan harga diri yang terhina karena khilaf dalam pergaulan.

Sampai tiba saatnya negara api menyerang. Masyarakat mulai mengenal istilah kepemilikan dan kenikmatan hidup versi luar sistem nilai mereka. Untuk mengejar kenikmatan impor tersebut mereka harus meningkatkan kepemilikan pribadinya. Mulailah terjadi goncangan nilai dalam internal masyarakat. Sebagian menjadi hamba dari negara api itu, dan sebagian lainnya bertahan dengan nilai asalnya. Ada juga sih yang melakukan kolaborasi dan mengusahakan titik keseimbangan baru. Tapi tata nilai terlanjur goyah dan ternyata negara api lebih berkuasa hingga akhirnya tata nilai keguyuban itu hancur karena ditinggalkan secara perlahan. Dan semakin hari semakin kabur, semakin embuh.

Puncaknya kita pun mulai membangun negara. Cuma, kita belum ketemu kata sepakat. Pada awalnya hanya perdebatan demi perdebatan, kelasnya pun intelektual. Lama-lama menjadi pergolakan demi pergolakan, yang kuat menumpas yang lemah. Sampailah para pemimpin besar kita ditumbangkan di bawah skenario negara api gaya baru. Sejak itulah kita benar-benar diharuskan memeluk negara dengan janji setia. Bukan patuh pada perjanjian bernegara dan konstitusinya, tetapi patuh pada yang merasa punya negara. Yang mengurusi negara merasa punya tanah di Nusantara, maka dijual atau disewakanlah. Lalu rakyat yang biasa memakainya bagaimana nasibnya? Ya begitulah sampai hari ini. Pertanyaannya, tanah itu milik siapa?

Mayoritas masyarakat kita adalah masyarakat dengan tata nilai komunal seperti yang digambarkan. Tapi pengelolaan negara kita mengikuti aturan tata nilai individual versi negara api. Jika Papua dikavlingkan untuk Freeport hingga Kendeng dikavlingkan untuk pabrik Semen ya itu akibat dari ketidakcocokan sistem dengan realitanya. Tarik juga masalah ke pendidikan, desa butuh kader petani, tapi produk sekolahannya pegawai kantoran dan pekerja industri. Karena kebutuhan lapangan dan sistem yang dibangun tidak kompatibel, maka hancurlah kebudayaan masyarakat kita, tidak punya akar pijakan yang jelas. Mau ikut leluhur atau hijrah beriman pada negara api. Sekarang masih gamang, maunya pilih keduanya, semacam poligami, juga semacam kemunafikan. Iyo ning ora, ora ning iyo.

Anehnya, dengan semua ketidakcocokan ini, ibarat kepala dikudungi kaos kaki, kok kita malah pusing sendiri. Yang bikin negara kan kakek-kakek kita, tapi anak cucunya malah ditindas bikinannya sendiri. Jika dulu belum ada negara sebesar ini, kalau sawah diambil alih orang, tinggal bertarung atas nama kehormatan diri sebagai pewaris dari leluhur. Kalau menang ya kembali menjadi pewaris, kalau tumpas ya berarti pengolah berganti orang. Tapi terhormat, jelas pertarungannya siapa lawan siapa. Sekarang, tanah yang digarap dan jelas-jelas diwarisi dari leluhur hendak diambil alih segelintir orang dengan jalan uang, pinjam kekuasaannya negara lagi. Negara berperan bukan sebagai pelayan rakyat, tapi sebagai pemaksa rakyat. Disuruh pindah tidak mau, malah dipaksa dan disiksa. Lho pemilik sah tanah kok diusir.

Di zaman ada makhluk bernama negara, kita diuji apakah harga diri akan kalah dengan aturan-aturan. Harga diri lebih dekat dengan keadilan, sementara aturan-aturan lebih dekat dengan kepentingan. Akan ada banyak aturan yang terus dibuat. Di antara kita akan ada yang patuh total, patuh sebagian, dan menentang. Apakah NKRI yang bersistem individual versi negara api ini harus kita pertahankan, sementara masyarakat kita lubuk hatinya masih komunal, walau sebagiannya sudah malih individual? Atau perlu kita rombak total? Atau malah kita biarkan mati dan kita rintis NKRI baru yang lebih ber-Pancasila dan taat pada UUD 1945 sebelum amandemen?

Negara, satu kata yang belum paripurna dipahami bangsa Indonesia. Dan satu kata yang tidak dijelaskan bedanya dengan pemerintah. Serta tidak diaplikasikan perbedaan keduanya dalam mengelola Nusantara ini.

Juwiring, 1 September 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.