Setelah 2014, saya memang perlahan-lahan mengambil posisi sebagai rakyat. Siapa yang ngajari saya? Banyak dan saya sunggh-sungguh belajar dari mereka.

Tentu saja, posisi ini akan sangat berlawanan dengan teman-teman saya di kampus yang hari ini merapat di partai maupun ormas. Ketika mereka kampanye, saya sering ngece dan mempertanyakan.

Apakah teman-teman saya sebel? Konon iya. Tapi beberapa teman yang saya kenal langsung, bahkan mereka yang nyaleg, ya kalau kami ketemu biasa-biasa saja. Ejek-ejekan, sudah pasti. Bahkan saya dengan beberapa teman sesama pesinis politik membuat grup diskusi yang isinya menganalisis berbagai peristiwa politik dan ekonomi secara kritis berdasarkan data-data yang sanggup kami akses.

Efek gabung di grup itu tentu saja bikin kami sangat skeptis dengan politikus. Mau politikus bilang A, B, C yang wah-wah, kami punya data apakah mereka konsisten apa tidak. Dan efeknya memang kami jadi suka sinis, baik yang terang-terangan seperti saya dengan sering bikin status, atau yang cuma diam-diam sambil suka senyum lucu kalau lihat kampanye. Tapi tidak berarti kami anti politikus, tapi kami bersama-sama ingin punya komitmen untuk suatu saat bisa mewujudkan dan menikmati demokrasi yang masuk akal dan bermutu. Tidak seperti saat ini.

Saya senang dengan posisi saat ini, meskipun mungkin minoritas. Sebab melihat perilaku masyarakat hari ini yang terang-terangan membuka pilihannya dan tidak merahasiakannya di bilik suara, tentu itu menjadi fakta bahwa perjuangan membangun masyarakat demokratis di Indonesia masih jauh. Apalagi sampai bertikai karena beda pilihan. Sekedar mendidik rakyat untuk tidak partisan dan maniak pemilu, serta bisa menjaga rahasia pilihannya dan berusaha menempatkan diri sebagai rakyat yang berfungsi sebagai “demos”, butuh energi berlipat-lipat. Di pemilu ini, saya mencoba melakukan hal itu semampu saya. Sebab teman-teman sesama grup diskusi tadi, tidak semua mengambil peran secara vokal lewat media sosial. Mereka orang-orang profesional yang sibuk dengan kerjaan kantoran mereka. Mereka pun harus menjaga reputasi agar tidak terganjal pada karir mereka.

Saya, sebagai pekerja serabutan yang kerjaannya nggak tentu, tentu punya banyak waktu luang untuk FB-an. Saya jalankan misi itu. Yang setuju silahkan mengambil manfaatnya. Yang tidak setuju, ya santai saja to ya. Wong apa pun yang kita lakukan, kita sendiri yang akan menanggungnya. Masak semua salah Jokowi atau Prabowo, atau malah salah SBY, salah Mega, salah Gus Dur, dan lebih ke atas lagi. Kerugian yang menimpa kita, ya sudah pasti salah kita sendiri. Sebab rasa rugi itu sendiri adalah konsep yang kita ciptakan atas keadaan yang menimpa kita.

Surakarta, 13 April 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.