Gara-gara pemilu, saya banyak terhibur sekaligus merasa kecut oleh perilaku sebagian dosen dan profesor yang fanatik buta sama politikus.
Kalau rakyat awam memuja Jokowi dan Prabowo saya sangat-sangat memaklumi, sebab urusan harian mereka nguyak butuh sudah tidak membuat mereka sempat berpikir lebih lama.
Kalau kaum akademisi kan memang kerjaannya mantengin data. Selain itu mereka juga mengerti metode ilmiah. Selain itu lagi, mereka memiliki spesialisasi di bidang masing-masing. Sangat menggelikan ketika musim pemilu, kaum akademisi ini mendadak banyak yang partisan buta.
Saya kira, kaum akademisi itu seharusnya yang paling ketus dan skeptis kepada para politikus. Kemampuannya melakukan analisis seharusnya bikin panas kuping politikus yang umumnya memang jago bikin janji-janji. Akademisi lah yang tugasnya mengulik janji agar ketahuan apakah janjinya masuk akal atau cuma gombal.
Ah, itu impian tentang kaum akademis di negeri Mimpinesia lah ya. Saya sendiri kuliah 7 tahun lebih je, hampir-hampir tidak selesai. Jadi saya asline ya cuma asbun nyetatus hal-hal politik di Fesbuk. Tapi karena saya sudah menemukan kegiatan saya paling produktif sehari-hari, yaitu menghasilkan sampah, makanya Fesbuk pun saya jadikan tempat nyampah kata-kata.
Paling tidak, sampah kata-kata ini terkendali di dinding saya sendiri, jadi tidak mengganggu orang lain. Sampah organik sudah aman di komposter. Sampah plastik kering sudah aman di botol-botol air mineral. Sampah plastik basah? Nah itu, masih dibuang dan menjadi sumbangan saya atas masalah lingkungan. Setidaknya, saya sadar sepenuhnya bahwa produktivitas harian saya paling top adalah nyampah.
Menemukan kenyataan bahwa kehidupan saya yang paling produktif adalah nyampah ketika usia hampir 30 tahun, itu merupakan sebuah pencapaian fantastis dalam hidup. Bayangkan kalau sampai tua saya tidak menyadari bahwa saya itu tukang nyampah, dan tetap merasa hebat sebagai aktivis, mantan mahasiswa padahal nggak punya karya yang sebanding dengan status kemahasiswaan saya, kan itu namanya konsisten goblok.
Surakarta, 7 Maret 2019