Jika kebijakan pemerintah soal pendidikan memberatkan, jika urusan sekolah menjadi lebih rumit, jika akhirnya cuma menjadikan medsos sebagai tempat mengumpati segala hal, gimana kalau anak-anak nggak usah belajar ke sekolah sekalian. Anak-anak diajak aja latihan bekerja sejak kecil. Yang petani diajak ke sawah, yang pedagang diajak ke pasar. Yang pengrajin diajak segera bikin karya.
Nek gelem bareng-bareng kan kita bisa saja bikin sanggar masyarakat untuk anak. Ngumpulnya dari habis ashar sampai malam. Anak-anak diajari kesenian, sastra, sekaligus disisipi nilai-nilai kehidupan. Mengapa sore-sampai malam? Ben ra nonton TV. Siapa gurunya? Yo diwulang bareng-bareng ben karuan urip ki srawung lan bebrayan sing cetha, ora muk merga ana ewuh mantu karo sunatan thok.
Kita hidupkan kesepakatan-kesepakatan sosial yang telah lama mati akibat perusakan oleh dunia pendidikan modern. Kiai itu layak disebut kiai, atau ustadz layak disebut ustadz bukan karena tampilannya ngono kae atau karena gelarnya Lc, tapi ya karena kepantasannya secara spiritual dan sosial. Guru layak disebut guru ya karena kompetensi dan keilmuannya yang teruji secara sosial dan intelektual, bukan karena punya gelar S. Pd atau seabreg sertifikatnya. Kita kenali kedudukan unggul manusia karena keunggulannya secara manusiawi, bukan karena label-label yang terlanjur diimani orang senegara kayak sekarang.
Mau mutli-years-school, multi-months-school, multi-days-school, full-day school, half-day school, atau no-school itu sebenarnya hanya metode saja. Dan tidak selalu relevan bahwa sekolah itu tempat untuk belajar. Dalam analogi komputer, belajar itu ibarat meng-upgrade software sistem operasi dan aplikasi. Sementara sekolah terkadang cuma berperan sebagai tukang ngiseni segala jenis file. Sehebat dan selengkap apa pun file-nya, kalau OS-nya masih Windows Me dan aplikasinya masih yang buatan era 2000-an, ya file yang banyak itu cuma jadi sampah karena tidak bisa diakses.
Demikian pula al Quran yang begitu agungnya. Petunjuk Allah yang luar biasa itu ya akan cuma jadi buku yang dijuali di toko-toko atau diperdagangkan laris untuk bisnis macam-macam mulai dari penerbitan, suara, hingga kompetisi, jika software umat yang membacanya ya cuma sejauh itu. Padahal al Quran adalah al huda, dia dapat menjelaskan segala sesuatu. Jika berinteraksi dengan al Quran kok tidak paham dengan kehidupan, yang salah bukan al Qurannya, tapi karena software diri kita nggak pernah diupgrade dan diupdate. Lha gimana mau diupgrade dan diupdate, uteke isine muk bisnis karo duwe pesugihan je. Bahkan sekarang lagi marak gerakan pembodohan massal dengan adanya larangan memahami al Quran dengan akal, guobloke pol. Aku berlindung pada Allah dari kepekokan akut jenis ini.
Juwiring, 10 Agustus 2016