Dalam artikel “Saya Anti-Demokrasi” yang ditulis Mbah Nun pertengahan era 1990-an beliau sudah mengetengahkan fenomena diskriminasi pada Islam. Misalnya ketika dibandingkan dengan demokrasi, Islam selalu dipojokkan karena dinilai berdasarkan para oknum yang melakukan tindakan kekerasan, bukan dari substansi ajaran Islam itu sendiri. Artinya kalau menilai demokrasi yang dirujuk sumber demokrasinya, yakni AS, tapi kalau menilai Islam yang dirujuk malah tindakan sebagian kecil umat Islam yang melakukan terorisme, yang sama sekali tidak mewakili umat Islam, bukan merujuk pada al Quran secara menyeluruh.
Diskriminasi itu terus dikembangkan di segala bidang hingga akhirnya menimbulkan rasa rendah diri umat Islam. Tekanan demi tekanan dan tuduhan kesalahan seolah-olah milik umat Islam. Kerja keras pembodohan pikiran lewat media ini kini mulai berbuah dengan tumbuhnya dua kubu ekstrim di kalangan umat Islam, yakni 1) kalangan inferior yang akhirnya menjadi pemuja apa pun yang serba Barat, termasuk mendesain Islam gaya baru berdasarkan paham-paham modern dan 2) kaum garis keras yang dikit-dikit membidahkan, menyesatkan, hingga mengkafirkan sesama umat Islam. Selanjutnya bisa ditebak, tidak perlu diapa-apakan umat Islam sudah ribut bertikai satu sama lain. Umat Islam di pertengahan pun lama-lama juga ada yang goyah, ada yang berpihak ke salah satu kubu, ada yang memilih diam, dan sedikit saja yang mengusahakan islah.
Hari ini provokasi itu semakin menjadi-menjadi. Tak hanya diadu dengan sesama umat Islam, sekarang lewat pengajian-pengajian garis keras, umat Islam mulai didesain untuk membenci umat non-Islam. Sebagai reaksinya gerakan kebencian juga lahir di kalangan non-Islam. Hanya soal speaker masjid saja akhirnya terjadi huru hara. Belakangan ini juga terjadi pencurian arca yang oleh umat Kristiani mereka yakini sebagai arca Yesus. Entah apalagi hal-hal konyol akan terjadi, dan media memang akan terus memproduksi aneka berita yang secara garis besarnya MEMPERMALUKAN ISLAM, sehingga kian menambah dongkol kaum garis keras sehingga menjadi alasan mereka melakukan kekerasan. Hal itu juga membuat repot, umat Islam yang waras karena harus kembali berkonsolidasi meyakinkan saudaranya sesama muslim maupun yang non-muslim.
Itulah mengapa umat Islam penting mempelajari adab-adab seputar informasi. Bahkan daripada waktu dihabiskan untuk membahas fikih shalat secara berlebihan hingga melahirkan perpecahan jamaah masjid, mending sekarang belajar soal adab menyerap dan menyebarkan informasi. Karena kebodohan umat dalam menyerap informasi ini adalah salah satu sebab utama kerusakan umat dan sekaligus menyulitkan gerakan kebangkitan. Belum lagi fenomena NGGRAGAS di tengah umat Islam semakin keterlaluan. Semakin hari tidak hanya kaum pedagang saja yang NGGRAGAS, tokoh agama maupun cendekiawan pun menjalankan proyek NGGRAGAS mereka masing-masing. NGGRAGAS-nya tokoh agama dan cendekiawan ini lebih menjijikkan ketimbang kaum pedagang yang umumnya memang begitu.
Jika tidak ada kesadaran pribadi di tengah umat Islam dan tidak terjalin silaturahim antar umat beragama, maka keharmonian yang diwariskan para ulama Nusantara ini akan terkoyak dengan aneka penindasan dan kezaliman. Jangan berpikir penindasan sesama manusia di Nusantara seperti Timur Tengah, ini berbeda. Manusia di Nusantara kalau pas lagi jahat, kekejiannya akan sangat dahsyat. Wong sekarang jadi koruptor saja berani umroh atau pakai jilbab kok saat disidang, apalagi jika nanti kita memasuki fase kekejian massal ini.
Jadi, mbok ya kita itu mulai sekarang berjuang sebisa-bisanya menengahi setiap potensi konflik yang lahir di lingkungan kita. Apalagi jika temanya cuma sekedar adu domba apik-apikan gerakan, ormas, hingga soal kiprah sosial. Situasi yang damai itu enak buat ngapa-ngapain lho. Tapi kalau memang ingin ada perang ya ayo yang serius biar segera selesai dan tumpas siapa yang kalah. Tapi kayaknya ga ada deh orang berani perang tanding sekarang, mending perang lewat Fesbuk dan Twitter. Inilah kenggathelan manusia modern macam kita. Hahahaha
Juwiring, 12 Agustus 2016