Bagi bangsa Indonesia, terkhusus umat Islam, Pancasila bukanlah sebuah -isme atau semacam agama baru yang menggantikan atau merevisi keyakinan agama bangsa Indonesia. Ia adalah landasan perjanjian kita dalam mendirikan negara yang bernama Republik Indonesia. Lima butir di dalamnya yang dirumuskan bapak-bapak bangsa Indonesia, diinisiasi oleh Bung Karno itu dapat pula disebut rukun negara. Mengapa? Karena salah satu cara menafsirkannya dapat kita gunakan metode urut dari sila kesatu sampai terakhir.
1. KETUHANAN YANG MAHA ESA
2. KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
3. PERSATUAN INDONESIA
4. KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN PERWAKILAN
5. KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
Karena itu adalah perjanjian dasar kita membangun negara, maka kelima sila tersebut wajib kita laksanakan secara runtut. Jika kita tarik ke skala nasional, maka penerapan dari kelima sila tersebut adalah …
1. Pembinaan spiritual
Para begawan, ulama, dan para tokoh agama menjadi teladan terdepan dalam pengamalan ajaran luhur agama/kepercayaannya masing-masing, dan tentu saja didukung oleh masyarakat yang mau memercayai bahwa kedamaian hidupnya ada berkat anugerah Tuhan. Nggak percaya soal ini, ya sebaiknya jangan jadi warga negara Indonesia.
2. Pendidikan kemanusiaan
Lembaga pendidikan dan kebudayaan menjadi ujung tombak dari pengamalan sila ini. Para guru dan budayawan adalah penggerak utama bagaimana mendidik manusia-manusia Indonesia seutuhnya agar menjadi pribadi-pribadi yang adil dan beradab. Manusia Indonesia yang diharapkan adalah pribadi-pribadi unggul berkualitas yang memiliki keteguhan dalam bertuhan dan moral yang baik.
3. Konsolidasi kekuatan bangsa
Ormas dan berbagai organisasi sosial politiklah yang paling bertanggung jawab dalam menjalankan peran ini. Idealnya, tidak terjadi persaingan antar ormas dan orsospol, karena mereka menjaring manusia-manusia dengan tipikalnya masing-masing untuk kemudian disatukan dalam wadah besar yang bernama negara Republik Indonesia.
4. Membangun negara yang berdasarkan prinsip kerakyatan bersumber pada hikmat kebijaksanaan dan diselenggarakan dengan permusyawaratan melalui perwakilan
Inilah prinsip bagaimana NKRI dijalankan. Negara kita meletakkan kedaulatan tertinggi ada pada rakyat yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan. Dalam sudut pandang Islam, hikmat kebijaksanaan adalah nilai-nilai luhur yang tertuang dalam al Quran dan tuntunan para ulama terdahulu. Dalam sudut pandang umum, bisa kita ambil dari nilai-nilai luhur kolektif bangsa Indonesia yang bersifat universal dan tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar kemanusiaan. Ormas/orsospol yang mewadahi aspirasi bangsa Indonesia dikumpulkan pada sebuah badan permusyawaratan dan masing-masing memiliki perwakilan dari orang terbaiknya yang mengerti hikmat kebijaksanaannya masing-masing. Maka dalam permusyawaratan, tidak dikenal adanya voting dan tidak ada istilah kebenaran milik suara yang terbanyak. Kebenaran disepakati setelah semua pendapat diketengahkan dan dengan hati yang bersih diputuskan pendapat-pendapat mana yang paling mendekati kebenaran bersama. Demikianlah kebijakan negara kita hendaknya diputuskan. Bukan dengan voting-votingan.
5. Negara menjalankan fungsinya dengan kejujuran dan tegas.
Jika aparatur negara menjalankan tugasnya dengan dilandasi dengan semangat menegakkan keadilan dan membela yang tertindas, maka akan terwujud benar cita-cita sila kelima ini, yakni keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial bukanlah bentuk dari sama rasa, sama rata seperti wacana komunis, melainkan bentuk keseimbangan di mana pihak yang kaya menumpuk kekayaannya secara wajar (tidak melalui penipuan, korupsi, dll) dan pihak yang miskin dijamin pemeliharaannya oleh negara. Karena keadaan miskin dan kaya adalah bagian dari sunnatullah, selama di dalamnya tidak terdapat kezaliman.
Itulah rukun negara yang semestinya kita jalankan, baik sebagai rakyat maupun sebagai abdi negara.
Namun, apakah hal itu telah benar-benar kita jalankan? Mari kita uji kenyataannya dengan cara membuat pertanyaan terbalik dari sila yang kelima.
1. Apakah sudah terwujud keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia? Belum. Mengapa? Karena pemerintah belum mampu menjalankan fungsinya dengan baik dan sebagian rakyat masih suka menindas satu sama lain. Baik pemerintah maupun beberapa golongan rakyat kita sekarang tidak berperan sebagai pengayom masyarakat, tetapi menjadi monster yang mencaplok dan menindas masyarakat. Karena negara dan masyarakat tidak menjalankan sila kelima, berarti pasti ada masalah di pengamalan sila keempat.
2. Apakah sudah terwujud bentuk penyelenggaraan negara berdasarkan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan? Belum. Mengapa?
a. Fungsi negara tidak terlihat jelas dan tidak dibedakan dengan pemerintahan. Rakyat tidak memiliki majelis permusyawaratan sekalipun memiliki badan bernama MPR maupun yang di tingkat daerah. Sejak pascareformasi, lembaga ini dibonsai dan bukan lagi lembaga tertinggi negara.
b. Hikmat kebijaksanaan tidak lagi menjadi acuan tertinggi dalam penilaian permusyawaratan, tetapi cara-cara voting. Seolah-olah di negeri ini, harga pemikiran dan keluhuran cita-cita tokoh bangsa sudah tidak diberi tempat lagi. Yang menang yang mampu berkampanye menggalang suara terbanyak.
c. Tidak ada lagi permusyawaratan dalam arti sebenarnya dalam setiap pengambilan kebijakan. Makanya sering terjadi ironi di mana atas nama penegakan peraturan, rakyat bawah menjadi korban penggusuran, razia dan lain-lain. Karena saat penyusunan kebijakan, perwakilan yang diajak rapat tidak benar-benar mewakili pihak yang seharusnya diwakili.
Maka tidak mengherankan jika negara yang sekarang kita sebut negara sebenarnya belum memenuhi syarat sebagai negara, baru sekedar menjadi pemerintah. Artinya kita patut bertanya, lalu sebenarnya kita sekarang berada dalam kedaulatan negaranya siapa? Karena sila keempat belum dijalankan, berarti pasti ada masalah di pengamalan sila ketiga.
3. Apakah ada persatuan Indonesia? Belum. Mengapa? Cobalah bertanya, ormas atau orsospol kita saat ini sedang fokus membangun identitas keunggulan mereka agar dapat disatukan di majelis permusyawaratan rakyat, atau sedang bersaing rebutan masa dan saling menghancurkan satu sama lain? Kalau PKS dihancurkan, Golkar dan PDI-P senang atau susah? Kalau Muhammadiyah disingkirkan, NU senang atau susah? Jawaban realita dari pertanyaan tersebut menunjukkan apakah ormas dan orsospol kita sedang menggalang persatuan Indonesia atau justru merenggangkan. Itu adalah organisasi berskala nasional, lalu bagaimana dengan yang di daerah-daerah? Karena sila ketiga belum dijalankan, berarti pasti ada masalah di pengamalan sila kedua.
4. Apakah sudah terwujud manusia Indonesia yang adil dan beradab? Belum. Mengapa? Karena lembaga pendidikan dan sistem kebudayaan kita tidak lagi membangun manusia seutuhnya. Tapi lebih sibuk menghasilkan tenaga terampil untuk kepentingan industri dan melahirkan tokoh-tokoh seniman yang bernafsu materialistik. Hampir tidak ada lagi sekolah yang serius membentuk manusia, yang ada adalah sekolah-sekolah yang menjadi mesin uang bagi pemiliknya, gurunya, maupun pegawainya. Guru-guru yang serius dengan profesinya, justru tersingkir dan terkekang kebebasannya untuk membentuk generasi Indonesia yang adil dan beradab. Seniman dan budayawan yang menghadirkan pencerahan bagi bangsa justru disingkirkan, tidak laku, atau paling menyedihkan hanya menjadi bahan tertawaan karena karya-karyanya tidak dipahami lagi, dan cuma dinikmati sebagai hiburan panggung saja. Jika pendidikan kita seperti ini, bukankah yang dihasilkan darinya ya cuma badut-badut dan zombie, bukan manusia Indonesia seutuhnya. Karena sila kedua belum dijalankan secara sungguh-sungguh, pasti ada masalah sangat serius di pengamalan sila pertama.
5. Apakah kita telah menjadi bangsa yang berketuhanan yang maha esa? Jangan-jangan belum. Kita terlihat secara luar memang sebagai orang Islam, Protestan, Katholik, Hindu, maupun Budha, tapi sebenarnya tuhan kita adalah uang, jabatan, prestis dan berbagai kepentingan yang membuat kita menyelenggarakan pendidikan untuk kepentingan duniawi tadi, membangun ormas untuk meraih kekuasaan, dan menyelenggarakan negara untuk menindas. Jangan-jangan kita sedang menjadi kaum musyrikin yang sangat jahat, karena di zaman Rasulullah orang musyrik itu terang-terangan musyrik. Kalau zaman sekarang, kita mengaku beragama tapi sebenarnya akidahnya dipenuhi dengan kemusyrikan. Dan kemusyrikan inilah yang menjadi sumber bencana kita bersama. Cobalah kita renungkan.
Jika tokoh-tokoh agama di negeri ini saja, yang seharusnya menjadi teladan dalam persatuan, sebagian besar mulai suka ribut satu sama lain, saling mengejek di depan publik, maka apalagi dengan masyarakat yang memang sudah kehilangan keadilan dalam dirinya, kehilangan adab, dan dicerabut rasa dalam dirinya untuk bersatu sebagai sebuah bangsa yang besar.
Demikianlah, hasil belajar bareng soal Pancasila. Sebagai muslim Indonesia, saya akan mempertahankan Pancasila, karena itu adalah landasan perjanjian kita membangun negara. Ia bukan ideologi atau isme, tetapi ia adalah perjanjian kita dalam dalam menyelenggarakan negara. Karena ia adalah kesepakatan bersama para pendiri bangsa, maka sebagai wujud penghormatan kita kepada mereka sekaligus sebagai cara untuk tetap menjaga kemaslahatan bersama, tidak lain tidak kecuali kita mempertahankannya. Yang tidak setuju, keluarlah dari bumi Indonesia, bikinlah negara sendiri di luar sana.
Juwiring, 14 Juni 2016
wah.. ijik aktif nulis toh Mas…
Masih dong, menulis kan bagian dari aktivitas hidup. Menulis untuk menulis, bukan karena ingin jadi/disebut penulis.