Ejek-ejekan soal aktivitas nyunnah itu memang lucu. Dulu saya juga pernah masuk dalam polemik dagelan semacam ini.
Pertama soal berpakaian. Sebenarnya saya tidak masalah dengan pilihan berpakaian setiap orang. Sak karepmu. Karena itu tanggung jawabmu. Cuma, sebagai seorang muslim, jika melihat seorang muslim lainnya tidak menutup aurat, ya dalam hati terbersit doa semoga dimudahkan menutup aurat. Tanpa harus dielek-elek dan dicap macem-macem. Antitesis dari pakaian yang dianggap tidak menutup aurat, lalu muncul trend “pakaian Islami”.
Sekarang sedang trend dengan istilah “pakaian Islami” yang sebenarnya lebih menunjuk pada trend gaya busana Arab, Hindustani, atau modifikasi baju Cina. Lagi-lagi menurut saya ya tidak masalah. Duit-duitmu dewe, arep tuku jubah atau gamis yo urusanmu. Cuma kalau lantas kamu berpikir bahwa itu nyunnah dan merendahkan yang selain berpakaian sepertimu baru ini jadi masalah buat saya. Kok bisa-bisanya mikirmu seperti itu. Ooo, gara-garanya kamu sekarang sedang mbakul “pakaian Islami” itu tadi to.
Jika memang totalitas nyunnah dalam arti meniru tingkah lagi Nabi, mbok ya jangan tanggung-tanggung. Meniru nabi soal berpakaian, kalau yang diikuti fisiknya ya susah. Wong sampai hari ini belum ada data valid mengenai kain yang dipakai nabi jenis apa. Dan sudah pasti tidak mungkin sebagus dan sehalus pakaian-pakaian jubah/gamismu hari ini. Yang mudah ditiru justru, pakaian nabi menurut hadits cuma 3 buah, satu dipakai, satu dicuci dan dijemur, satunya disimpan di lemari. Kalau memang mau nyunnah, berarti loakin tuh pakain-pakaian kerenmu, sisain 3 yang paling sederhana, kenakan.
Demikian juga soal makanan. Saya tidak ada urusan mau makan talbinah, kurma ajwa, madu dll. Lha kalau punya uang ya silahkan beli to. Duit-duitmu sendiri, perut-perutmu sendiri, masak saya iri. Tapi yo jangan langsung ngece yang di sini, yang tidak kuat beli kurma lantas makannya cuma tahu tempe sampai bosan, terus dianggap tidak nyunnah. Termasuk cara makannya juga. Kalau memang mau nyunnah ya totalitas, nanti kalau makan soto di sini, pakai 3 jari ya. Makan mie ayam juga silahkan pakai 3 jari. Kalau saya sih nggak seekstrim itu, saya yakin Kanjeng Nabi tidak akan marah kalau saya makan mie ayam pakai sumpit, sebagaimana orang-orang Cina mengajari kebudayaan makan mie dengan sumpit.
Lagi pula, dalam urusan makan nabi itu memperbanyak laparnya. Bahkan saking spektakulernya beliau mengganjal perutnya dengan batu. Itu pun juga gara-garanya ketahuan Umar bin Khattab. Artinya kemungkinan besar sebelum terbongkar hal itu, beliau pasti menjalani hal itu dengan biasa. Bandingkan dengan sekarang yang hobi kuliner, waton mangan apa wae. Terutama pesta-pesta gratis yang diselenggarakan oleh pejabat negara dengan uang rakyat. Do kolu lehe mangan telap telep ra umum. Dan saya pribadi entah lupa persisnya kapan, gara-gara pernah lihat pejabat makan dengan rakus di suatu acara formal yang dibiayai uang rakyat membuat saya hingga hari ini mual dan tidak lagi tertarik untuk makan-makan gratis macam itu lagi. Wis emoh kon dolan turut acara ngono kuwi. Nggilani.
Masih banyak sunnah nabi secara fisik yang belum kita tiru lho. Misalnya rumah beliau (kalau tidak salah) ukurannya 3,5 x 4 meter persegi. Kalau begitu mari digempur rumah kita dikecilkan seukuran rumah beliau. Beliau mangkuknya cuma sederhana, maka piring-piring porselen yang mengkilap silahkan disingkirkan. Nabi tidak pakai handphone dan kalau bepergian beliau tidak pakai kendaraan mewah. Jadi mulai sekarang yang kayak gitu silahkan ditinggalkan. Kan cinta Kanjeng Nabi. Ayo totalitas dong.
Sungguh ada persoalan-persoalan serius yang kita langgar, padahal itu jelas-jelas ada dalam al Quran, seperti larangan riba, sistem penyediaan makanan halal dan thayyib, tadabbur al Quran, metodologi kepemimpinan, mengejar akhirat tanpa meninggalkan dunia, dan banyak sekali perintah Allah dalam al Quran yang dilanggar umat Islam. Pelanggaran umat Islam secara massal ini membuat kita sekarang jadi terinjak-injak dan dihinakan. Ekonomi full dikendalikan sistem riba, kepemimpinan selalu diintervensi zionis bahkan ada yang sudah dikontrol dan jadi bawahannya, kebudayaan dihancurkan oleh gaya hidup materialistik. Mosok urusan-urusan remeh temeh soal tradisi berpakaian Nabi sampai menjelmakan sosok yang merasa lebih sholeh dari yang lainnya. Ya Allah, betapa anunya orang-orang yang seperti ini.
Hentikanlah kekonyolan semacam ini. Mari kerjakan hal-hal yang lebih urgen untuk memperbaiki kesalahan massal kita dalam meninggalkan al Quran. Aja mung dielus-elus karo dinyanyekke saben dina.
Juwiring, 29 April 2016