Manusia sekarang itu saat mengatakan hadist A, hadits B shohih atau dhaif kan metodenya taklid. Yakni baca kitab induk Hadist atau kitab yang lebih baru yang mengevaluasi atau mengutip kitab induk tersebut, lalu mematuhi pendapat Imam yang menulisnya. Padahal mengetahui sahih tidaknya sebuah hadits secara pasti kan jika benar-benar bisa menelusuri ke sumber aslinya (Rasulullah).
Itulah mengapa orang yang memiliki rantai periwayatan hadits dari sahabat hingga hari ini, kualitas haditsnya jelas jauh lebih bisa dipertanggungjawabkan dari pada kaum pembaca kitab, apalagi cuma buku terjemahan, apalagi buku petunjuk praktis yang mengutip buku terjemahan dari kitab yang bukan kitab induknya. Masalahnya, apa kita bisa menjumpai orang-orang mulia semacam itu secara mudah hari ini. Apakah kita bisa mendapati mereka di kafe, di mall, atau lewat WhatsApp sehingga kalau mau klarifikasi tinggal japri, “Tadz, hadits ini bener nggak ya?”. Kowe iso ngono kuwi?
Maka sebagai orang awam, ketimbang debat soal hadits ini shahih/dhaif, mending banyakin shalawat dan semoga selama hidup bisa bermimpi bertemu Kanjeng Nabi Muhammad SAW. Saya rasa, jika kita bisa ketemu sekali saja, terus jika sempat tanya-tanya hadits itu beneran dari beliau atau nggak, plus nerima pesan-pesan penting tentang kehidupan dari beliau, hidup kita setelah bangun tidur dan seterusnya akan semakin lebih cerah.
Dan pengalaman mimpi bertemu Rasulullah adalah pengalaman spiritual. Tidak mungkin diceritakan kepada orang lain kecuali pada orang dan saat yang tepat, dari pada dibully. Apalagi ini zamannya orang hanya percaya materi karena sudah dijajah oleh ideologi sekuler. Bahkan kita bisa menemui fenomena manusia split (yang kepribadiannya terbagi), dalam menjalani kehidupan duniawi ia sangat sekuler, tetapi di saat yang lain ia menjadi sangat fundamentalis dan ekstrim dalam pengakuannya menjalankan agama. Dan yang ekstrim-ekstrim begitu, zaman inilah gudangnya. Barangkali cara berpikir yang spesialis itu juga menjadi pendukung terjadinya berbagai ekstrimisme di sekitar kita.
Surakarta, 11 November 2015