Salah satu guru pernah mewejang tentang pergeseran cara pandang umat dari yang dahulu sangat kualitatif menjadi sangat kuantitatif. Karena fenomena al Islam mahjubun bil muslimin (Islam ditutupi oleh perilaku buruk sebagian umat Islam), makanya hari ini timbul dikotomi pemikiran yang lucu-lucu.
Sebutlah ada ungkapan, “mending pilih pemimpin muslim walaupun korupsi, dari pada memilih pemimpin kafir tapi tidak korupsi.” Kok iso ki lho. Lha apa orang korupsi itu bisa disebut muslim? KTP-nya Islam kok. Hahaha, lha ini “nganu” sekali kan. Yang namanya muslim kaffah ya taat syariat dan berakhlak sosial yang benar. Kalau cuma salah satu yo sebut wae “lagi meh Islam”.
Makanya tidak heran jika hari ini yang tampak-tampak sholeh itu bisa gampang dapat tempat, sementara yang tersembunyikan karena keikhlasan pengabdiannya akan dilupakan, bahkan tak jarang dituduh secara keji, karena sesekali terlihat berbeda (padahal tidak benar-benar karena nyeleneh). Itu pun ukuran “tampak sholeh” pun juga bikin “nganu” deh, karena cara menilai orang pun hari ini juga distir dan dikendalikan oleh opini media.
Maka wacana penghapusan kolom agama di KTP itu bisa jadi ada nilai benarnya, meski saat ini saya sangat tidak setuju jika benar-benar diterapkan, karena akan bikin situasi tambah kacau. Lha buat apa KTP-nya Islam kalau ternyata tidak bisa menerapkan Islam sebagai bentuk keshalihan individu dan sosial. Apa perlu dikasih dikotomi lagi, Hampir Islam dan Islam.
Untuk tidak korupsi, seorang muslim apa ya menggantungkan KPK to. Mosok dengan Islam-nya kita, kita tak mampu untuk tidak korupsi. Untuk tidak menipu rakyat dengan janji-janji manis, seorang muslim apa ya menggantungkan lembaga-lembaga pengawas. Mosok dengan Islam-nya kita, kita tak mampu menghadirkan pengawasan Allah atas kita. Nyatanya, saya dan kebanyakan dari kita memang sepertinya baru Meh Islam, karena nilai-nilai ini belum mampu mengendalikan dan mengatur hidup kita untuk lebih beradab.
Dampak dari perubahan paradigma ber-Islam secara massal ini salah satunya pada kepemimpinan. Ya wajar saja sih kalau akhirnya kita memang bingung berjamaah dalam menentukan pemimpin. Entah karena mekanismenya yang “nganu” sehingga pemimpin yang benar-benar muslim Kaffah susah dimunculkan, atau karena memang mayoritas umat Islam tidak paham dan tidak mampu membedakan kualitas pemimpin yang memiliki kualifikasi untuk memimpin. Karena praktek sekulerisme yang akut memberi kontribusi kepada umat Islam membuat dikotomi antara pemimpin agama dan pemimpin non agama. Padahal pemimpin umat Islam itu ya seorang imam yang berkualifikasi terbaik.
Di negara yang masyarakatnya ber-Islam beneran, perlukah lembaga-lembaga penegakan ini itu yang banyak? Apa umat Islam tak mampu mengamankan satu sama lain, apa umat Islam tak bisa saling memercayai satu sama lain, apa umat Islam tak mampu menyelamatkan satu sama lain. Inilah otokritik untuk diri kita masing-masing apakah kolom agama kita di KTP benar-benar mencerminkan kualitas pemilik KTP-nya, atau jangan-jangan ini hanya modus untuk meraih hak-hak mayoritas yang hari ini mungkin masih Allah berikan kesempatan yang entah kelak masih kita miliki atau tidak.
Barangkali kita ini memang masih menjadi kaum Islam KTP.
Surakarta, 26 Agustus 2015