Gontor telah membuktikan eksistensinya sebagai sebuah “sistem negara kota” yang mandiri. Muhammadiyah sebenarnya juga bisa menjadi “sub negara” untuk komunitasnya, dan semoga bisa bergerak ke sana.

Bicara kekuasaan, tidak bisa dipungkiri itu adalah tempat orang-orang berebut kedudukan. Tapi, belajar dari Gontor, sebenarnya ada ruang khidmat yang bisa dibangun setiap kelompok masyarakat tanpa harus ikut ambil pusing dengan urusan negara.

Setidaknya, kalau pun kita tidak mampu membangun sebuah sistem seperti Gontor, kita bisa memulai dari rumah kita masing-masing kita untuk membangun kemandirian semampunya. Sehingga problematika negara yang sedemikian hamsyong ini, tidak terlalu berdampak besar pada kehidupan rumah tangga.

Eksistensi bangsa ada pada keluarga-keluarganya, bukan pada negara, apalagi pemerintah. Bangsa yang kuat adalah bangsa yang sibuk membangun ketahanan keluarga. Sebab negara dan pemerintahan bisa gonta ganti kapan saja dan seringnya juga digunakan untuk menindas dan merampok manusia.

Mandat Allah kepada manusia itu adalah menjaga garis keturunan dan memantapkan pendidikan untuk anak cucu agar tetap menjadi manusia seutuhnya. Jadi sekolah bukan hal primer dalam pendidikan manusia. Apalagi jika sekolah justru menghilangkan kemanusiaan kita lewat serangkaian kurikulum yang merobotkan manusia.

Semakin saya pikirkan, saya geli dengan apa yang pernah saya lakukan dulu. Mengapa saya harus ambil pusing dengan apa yang dipamerkan para politisi. Saya hanya peduli dengan tanah air dan masyarakat, tetapi seharusnya saya tidak perlu ambil pusing kan dengan polah para politisi. Mengapa kita harus ribut dukung mendukung mereka hingga bertengkar.

Jangan sampai gara-gara urusan politik, persahabatan kita retak, apalagi bertengkar dengan sesama saudara. Sebab yang primer dalam hidup ini seharusnya keluarga, sebab ia satu-satunya institusi sah yang dimandatkan Allah pada manusia. Manusia mesti berkeluarga untuk membangun peradaban. Tetapi manusia tidak perlu repot-repot membangun negara jika hasilnya cuma seperti sekarang ini. Lucunya hari ini kita justru mementingkan karir dan seabreg sistem aneh ini hingga mengorbankan keluarga dan pendidikan untuk generasi manusia.

Kini, manusia semakin jauh dari nilai-nilai kemanusiaannya. Dengan semakin jauhnya manusia dari nilai-nilai kemanusiaannya, dengan sendirinya kita semakin jauh dari apa yang sesungguhnya menjadi tugas pengabdian kita di dunia.

Surakarta, 25 November 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.