Sejak dulu, para ulama mengajari umat untuk hidup sederhana, mandiri, dan sebisa mungkin tidak banyak berurusan dengan aneka pengaruh para penguasa. Jihad dapat diserukan sewaktu-waktu jika, tanah air dan kebebasan hidup dirampas secara zalim baik oleh penguasa tempatan atau penguasa asing.
Dalam situasi yang sulit, para ulama lebih menyerukan umat untuk membangun kemandirian dan meminimalisir perlawanan kepada para penguasa jika itu berkaitan dengan urusan-urusan politik, agar tercipta kestabilan situasi sosial. Selama umat bisa menjalani hidup mandiri dan melepaskan diri dari jebakan-jebakan batman penguasa dan para kapitalis, itu yang diutamakan.
Umat Islam dididik untuk tidak ketergantungan pada materi dan kekuasaan, tapi bagaimana bekerja keras dan fokus untuk mewujudkan pemeliharaan atas sesama manusia dan alam. Jadi penghijauan, kebersihan lingkungan, perbaikan kualitas kehidupan dan gaya hidup masyarakat agar kembali natural adalah kewajiban penting yang harus dijalankan umat Islam sebagaimana kewajiban ibadah khas yang menjadi penanda syiar Islam.
Menyikapi realitas negara dan pemerintahan Indonesia yang membingungkan seperti sekarang, sebenarnya justru bisa menjadi momentum yang tepat bagi umat Islam untuk kembali pada al Quran dan shirah Nabawi, menyelami kembali tugas-tugas dakwah yang selama ini dilupakan karena wacana publik didominasi oleh urusan rebutan kekuasaan dan peperangan, sangat jauh melenceng dari potret utuh kehidupan Rasulullah Muhammad SAW.
Umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya seharusnya bersyukur dengan karunia tanah subur dan alam yang indah ini. Meskipun banyak tanah yang sudah dikuasai kapitalis dan satu per satu regulasi kejam diproduksi oleh pemerintah, sebenarnya ruang kedaulatan kita masih tersedia begitu luas. Tapi perlu penggerak yang siap sedia mengedukasi umat agar sadar bahwa kedudukannya sebagai warga bumi lebih tinggi dari sekedar statusnya sebagai warga negara.
Dengan spirit yang terkandung dalam Pancasila, bangsa Indonesia seharusnya menyadari bahwa negara Republik Indonesia adalah produk dari kumpulan bangsa, bukan sebaliknya. Artinya posisi bangsa Indonesia, yang tak lain adalah warga bumi, lebih tinggi dari negara dan segala perangkatnya. Sudah saatnya bangsa ini kembali kepada spirit leluhurnya dan kembali kepada kewajaran hidup sebagai manusia yang merupakan bagian dari alam, bukan menjadi Firaun-Firaun baru yang mendaku diri sebagai Tuhan sehingga selalu bersaing untuk berkuasa dan mengeksploitasi alam.
Memanfaatkan produk-produk teknologi dengan sewajarnya dan seperlunya serta tidak larut dalam jebakan berkomplot untuk memasuki peta adu domba adalah cara terkecil untuk menjaga kestabilan hidup bersama. Negara tinggal memiliki dua pilihan, hancur dengan sendirinya karena dominasi yang sedang dijalankannya atau mengalami perbaikan seiring dengan tumbuhnya kedaulatan dari masing-masing personal bangsa ini.
Allah menciptakan manusia dengan martabatnya masing-masing. Bagi Allah nilai satu manusia setara dengan seluruh manusia. Dan nilai satu hamba-Nya yang beriman setara dengan dunia seisinya. Maka, kebenaran dan nilai-nilai kebaikan tidak menuntut jumlah, sekalipun hanya dijalankan oleh seorang manusia saja maka ia bermakna dan tidak akan menjadi salah meskipun ditentang lebih banyak orang.
Perang bukanlah pilihan di zaman ini, karena manusia sudah tidak mengerti tata krama perang. Mereka tidak lagi mengerti kapan harus berperang dan kapan beristirahat. Mereka tak mengerti bahwa peperangan tidak boleh diikuti penghancuran tempat dan perusakan alam. Mereka juga tidak mengenal harga diri dalam perang sehingga nyaris susah dijumpai adu tanding hadap-hadapan. Bahkan mayoritas manusia tidak lagi menganggap bahwa perang dengan senjata jarak jauh dan melukai pihak-pihak yang tidak terlibat perang adalah perilaku pecundang. Manusia sekarang justru menganggap hal lumrah berbagai peristiwa pembantaian.
Selanjutnya, tinggal sikap pribadi-pribadi kita ke depan. Apakah tetap beriman pada kefasadan sistem ini atau melakukan perbaikan melalui cara-cara yang ahsan dan bermartabat.
Juwiring, 14 Juli 2017