Nikmati sajalah hidup meski dicap sebagai orang munafik karena kita mengacu kepada “nilai”. Soalnya kebanyakan orang sekarang kan acuan keberpihakannya kepada orang, kepentingan, dan institusi.
Ketika kita berpihak pada nilai, misalnya nilai keadilan, kita mendukung si A saat dia menegakkan keadilan. Tapi di lain waktu kita mungkin akan berlawanan dengan si A, karena dia sedang tidak menegakkan keadilan itu.
Dan sikap kita yang semacam ini, oleh media massa dan orang-orang yang fanatik terhadap A pasti akan dicap plin plan. Wis biasa dingonokne aku, merga aku ra pernah bener-bener melu terlibat 100% dalam jamaah keagamaan. Aku gelem melu tapi tetap kritis dan katanya nyebelin, merga ra manutan.
Dan keberpihakan pada nilai semacam ini cukup rumit diterapkan di era modern di mana dikit-dikit harus dikaitkan pada sesuatu yang wadag (lahiriyah) entah itu ideologi, aliran, madzhab, parpol, mbuh apa meneh. Bahkan betapa tidak enaknya jadi orang Islam, karena dikit-dikit harus ditanya merk Islam-nya apa. Hayo, merkmu apa coba? Hahaha
Itu sikapku. Guru-guruku nyatanya tetap menghargai pandanganku, meski kami kadang berbeda pendapat. Aku tetap sowan ke mereka dan gojek-gojek sambil sok-sok ngrasani berbagai perilaku ketidakadilan yang terjadi, baik di dalam internal umat Islam maupun secara global.
Nah, ngene iki, gek-gek ana sing bakalan ngecap, ah kuwi Dika muk melu-melu pendapate Cak Nun. Hahaha, yo monggo to ya. Wong sing ngono-ngono kuwi yo ra kenal aku langsung kok biasane. Wkwkwk. Rumangsamu guruku muk Cak Nun ngono po. Sok tahu.
Juwiring, 10 Desember 2016