Tiba-tiba terbersit, rasa-rasanya kalau memakai kronik Babad Tanah Jawi, apa yang dialami Indonesia pasca 1945 seanalogi dengan era Majapahit hingga VOC.

Era Bung Karno adalah representasi pemerintahan Majapahit hingga Kesultanan Demak, kegaduhan di akhir pemerintahan beliau seanalogi dengan keruntuhan Demak menuju perang sipil Jawa yang hampir seratus tahun lamanya.

Era Pak Harto adalah representasi pemerintahan Mataram, terutama era Sultan Agung. Raja yang mendominasi seluruh Jawa dengan penaklukkan besar-besaran, memiliki koneksi dagang dengan Inggris (adidaya dunia kala itu). Walaupun beliau memiliki hubungan erat dengan Amerika dan sekutunya, serta memberikan banyak kontrak eksploitasi alam Indonesia, tapi wibawanya besar sehingga negara-negara Barat itu tidak berani merampok Indonesia secara membabi buta.

Era pasca Pak Harto (rada males mau nyebut reformasi) adalah representasi penguasaan Nusantara oleh VOC. Bermula dari raja-raja Mataram yang mulai bekerja sama dengan VOC demi menumpas saingannya sendiri sesama trah Majapahit di masa lampau. Makin lama, Nusantara terus dikangkangi VOC seperti hari ini di mana dengan amandemen UUD 1945, negara kita kian kacau balau tata negaranya, kian ramai korupsinya, dan kian bubrah kebudayaannya. Di mana-mana terjadi pengkhianatan pejabat pada rakyatnya. Para pejabat menjadi hamba para pengusaha serakah, baik lokal maupun asing.

Setelah VOC digantikan Hindia Belanda dan penjajah itu menguasai seluruh infrastruktur kekuasaan Nusantara (menundukkan para Sultan dan Bupati), terjadilah pencucian pikiran besar-besaran rakyat Indonesia dengan berbagai pengaruh Barat. Namun ada segolongan masyarakat yang tidak tunduk pada aturan itu, mereka kemudian bangkit menggalang persatuan sendiri yang menjadi pilar penting kebangkitan nasional, khususnya kebangkitan umat Islam yang ditandai dengan lahirnya Muhammadiyah dan NU.

Jika melihat putarannya, berarti kebangkitan ulama akan terjadi. Ulama yang seperti apa? Tentu saja bukan ulama-ulama berlabel yang hari ini senang pamer kepinteran dan kekayaan, sambil selingkuh dengan para penguasa zalim. Kebangkitan para ulama sejati, mereka yang hidup dalam alam rakyat bawah, makan dan tidur bersama penderitaan rakyat. Mereka para ulama umat yang terus menyeru kebangkitan umat. Bukan dengan kekuasaan, tetapi dengan seruan keimanan dan kesederhanaan. Putaran ini sedang terjadi.

Jika di masa lampau penjajah Barat hancur dilibas oleh prajurit Timur (Jepang), barangkali pola yang sama juga akan terjadi, seiring dengan kebangkitan kita kembali. Apakah prajurit Timur kali ini datang dari dalam atau dari luar Nusantara. Ah rasanya kalau melihat pasukan gerilya yang tengah disiapkan saat ini tidak perlu ada pasukan dari luar Nusantara. Dan ini bukan sekedar perang fisik seperti dalam film kolosal, ini adalah persiapan besar yang tak bisa diraba oleh mata telanjang yang kebanyakan nonton Hollywood atau bermadzhab textbook.

Aku melihat pasukan gerilya itu terus dibentuk. Mereka terus berproses walau di sekitarnya terus mengalami kehancuran. Karena memenuhi panggilan suci yang akan datang pada saatnya. Jangan dibayangkan terlalu mengerikan, karena perang hari ini tidak membutuhkan aneka piranti fisik yang menyimbahkan darah. Tidak, serangan pikiran lewat aneka perangkat halus saja sudah efektif untuk melumpuhkan dunia. Tapi tak semuanya lumpuh. Para ksatria masih tegak berdiri, menyiapkan kebangkitannya untuk kesekian kalinya.

Optimis saja, kita belum benar-benar dikalahkan. Gerilya akan terus terjadi. Tajamkan “penglihatan”, bukan dengan klenik tetapi dengan ilmu.

Juwiring, 6 Agustus 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.