Dalam demokrasi, kecurigaan rakyat pada politikus seharusnya hal biasa saja.

Wajar, politikus yang berkuasa itu orang gajian. Mereka tenaga kontrak lima tahunan, digaji besar, yang tugasnya mengelola pemerintahan.

Wajar pula jika rakyat mengkritik politikus habis-habisan dalam urusan pemerintahan, bukan urusan personal. Selama urusan kinerja, tidak boleh ada kata ampun.

Barulah jika, ada rakyat yang menyerang personal politikus, silahkan dipolisikan. Misalnya menuduh politikus selingkuh, keturunan anu, atau segala hal yang berbau personal dan tidak ada hubungannya dengan kinerja pemerintahan, saya setuju si penyerang dihukum seberat-beratnya.

Lha kalau rakyat mengkritik para politikus yang sedang aktif memegang mandat, misalnya mempertanyakan dulu janji begini, sekarang dipertanyakan janjinya karena tidak kunjung terpenuhi, di mana letak salahnya? Rakyat suruh maklum? Goblog jenenge. Wong rakyat telat bayar pajak aja didenda, masak politikus tidak kunjung merealisasikan janji kok suruh dimaklumi. Nalar berpikirnya gimana to ya.

Politikus itu modal maju kampanyenya itu dengan janji. Mereka koar-koar akan begini akan begitu. Maka rakyat ya tentu saja berhak menagih janji dan menyatakan gagal jika sampai batas waktu pelaksanaan janjinya tidak terpenuhi. Bahwa janjinya tidak terpenuhi karena ada alasan-alasan yang masuk akal, rakyat tetap benar, sebab rakyat tetap bisa mendebat “Lha kenapa dulu berjanji?”

Cuma, saya heran dengan cara berpikir kebanyakan orang Indonesia itu janjane gimana to? Apa belum rela untuk berdemokrasi? Maunya tetap kerajaan ya? Ya kalau gitu nggak usah bikin negara demokrasi lah. Demokrasi kok kayak gini. Para politikus kok dipuja-puja seperti raja. Gimana demokrasi jalan, kalau posisi politikus diletakkan dalam maqam seperti itu.

Saya sendiri sebenarnya justru tidak terlalu ambil pusing soal politikusnya. Bagi saya, umumnya politikus adalah oportunis, kecuali yang enggak. Politikus hanya mengikuti selera pasar dan berusaha meraih jabatan dengan melihat masyarakatnya. Nah, rakyatnya ini gimana gitu lho? Masak demokrasi kok praktiknya masih mirip zaman kerajaan dahulu.

Demokrasi itu mentransformasikan pelaksanaan mandat kekuasaan dari yang semula berada pada sosok manusia (seorang Raja/Ratu) menjadi pada simbol dan lembaga. Jadi dalam berdemokrasi, rakyat menghormati simbol negara dan lembaga negara, bukan pada manusianya. Dalam hubungan pemerintah dan rakyat, rakyat tidak punya kewajiban menghormati personal presiden, tetapi menghormati lembaga-lembaga negara di mana presiden ada di dalamnya.

Soal manusia menghormati manusia itu urusan kemanusiaan. Jika memang manusia itu layak dihormati, maka manusia lainnya pasti akan menghormatinya. Artinya jika ada kasus manusia tidak menghargai kepribadian manusia lain, bisa jadi manusianya memang tidak layak dihargai, atau manusia yang satunya tidak mengenal arti menghargai. Dalam hal ini, manusia yang tidak pandai menghargai dan tidak layak dihargai seharusnya tersisih dari pergaulan yang luas. Tapi nyatanya juga nggak. Berarti memang sudah kacau.

Jika dilihat dari kericuhan yang masih ramai sampai sekarang, kritik kepada pemerintah tidak jelas juga. Sebagian sibuk mencela Presiden Jokowi dengan cacian khas personal, sebagiannya baru beneran menguliti janji-janjinya yang tidak terpenuhi. Akibatnya lahir reaksi yang membela mati-matian Presiden Jokowi dari caci maki. Yang ini saya setuju, sebab caci maki personal, seharusnya tidak boleh dalam demokarsi. Lha tapi kok ya muncul juga pembelaan dari atas ketidakberhasilan pemerintahan merealisasikan janji. Ini apa-apaan.

Saya kasihan pada Presiden Jokowi yang dicaci maki secara personal. Tapi sekaligus saya juga suka kesal melihat orang-orang yang mau-maunya pasang badan membela kebijakan pemerintah yang jelas-jelas banyak blundernya ini. Mbok yang fair saja, kita sebagai rakyat sama-sama membela segala serangan personal yang ditujukan pada Presiden Jokowi dan keluarganya. Tapi disaat yang sama, kita harus berani bilang bahwa banyak janji pemerintahan Presiden Jokowi yang tidak terpenuhi.

Saya juga tidak habis pikir ketika ada rakyat yang merendahkan Prabowo sebagai calon presiden yang tidak berpengalaman. Maksudnya apa? Kalau pengalaman jadi Presiden ya jelas belum punya. Kalian gimana sih. Kalau dalam pengalaman manajerial, tentu sudah cukup panjang sebelum diberhentikan dari posisinya dlu. Selama pengadilan negara tidak membuktikan bahwa dia bersalah menculik dan KPU meloloskannya jadi capres, ya berarti keadannya seimbang dengan Jokowi, sama-sama putra bangsa yang berhak.

Akhirnya saya mengutip pernyataan, “penguasa adalah cerminan dari rakyatnya.” Menurut saya pernyataan ini sangat benar. Kondisi negara kita yang kacau ini, sebenarnya faktor terbesarnya adalah pada bangsa Indonesia sendiri yang tidak siap berdemokrasi. Kita biarkan para oligarki dan penguasa lokal yang korup tetap berkuasa. Kita melanggengkan feodalisme di segala bidang. Kita hingga hari ini, sebenarnya tidak benar-benar berdemokrasi. Kita berkerajaan, sambil ngaku-ngaku demokrasi.

Apakah demokrasi palsu semacam ini akan kita lanjutkan dan kita akan menjadi bangsa yang punya negara gagal? Atau kita galang kekuatan massa yang besar untuk memblokir gedung DPR/MPR agar para dewan itu mau bersidang dan melakukan perubahan konstitusi agar terbentuk konstitusi dan undang-undang yang lebih adil dan seimbang antara rakyat dan pemerintah. Tidak seperti sekarang ini, yang mana pemerintah mendapatkan kewenangan sangat-sangat besar seperti era kerajaan.

Tulisan ini khusus untuk dibaca sesama rakyat. Anda yang merasa jadi politikus dan timses, tidak perlu membacanya, sebab tidak penting buat Anda.

Surakarta, 25 Februari 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.