Orang-orang yang rajin mempersoalkan jalan tol, waduk, dan aneka proyek infrastruktur lintas tahun itu memang lucu. Saling unjuk kepekokan.

Tapi lebih lucu lagi jika ada profesor-profesor teknik sipil yang mendadak juga jadi partisan, dan membuat pernyataan bahwa bendungan dapat dibangun dalam waktu setahun.

Sejauh saya iseng cari-cari informasi itu, saya belum dapat info seorang pakar di bidang teknik sipil bersikap partisan seperti itu. Tapi setidaknya saya menemukan banyak profesor yang jadi pekok gara-gara pemilu.

Para profesor yang katanya bertahun-tahun menekuni bidangnya sehingga digelari sebagai ahli karena teliti dan produktif membuat paper, mendadak menjadi instan berpikirnya dan menjadi partisan ketika membuat keputusan politik.

Padahal saya membayangkan para profesor itu adalah orang-orang yang seharusnya paling menyebalkan di mata para politikus. Sebab ketika para politikus bisa nggedebus menyihir orang awam dengan omong kosongnya, para profesor inilah yang membalikkan pernyataan-pernyataan politikus itu dengan segudang argumentasi cerdasnya.

Ya, itu cuma bayangan saya sih. Betapa kerennya jika ribuan profesor di negeri ini, mengkritisi setiap kebijakan politikus berdasarkan bidangnya masing-masing. Profesor teknik mengkritisi kebijakan pemerintah pada bidang teknologi. Profesor pertanian mengkritisi kebijakan pemerintah pada bidang pertanian. Profesor ekonomi mengkritisi kebijakan pemerintah pada bidang ekonomi. Dan semuanya.

Indahnya jika rakyat awam macam kita bisa belajar dari kritikan-kritikan pedas para profesor itu dan kita bisa menikmati bagaimana para politikus dipermalukan dan ditunjukkan letak kegoblokan mereka. Sehingga lama-lama hanya politikus yang cerdaslah yang berani tampil untuk menawarkan program-programnya, sehingga mendapatkan kritik minim dari para profesor karena memang program-program yang ditawarkannya berkualitas.

Tapi, ya gitu deh. Kalau pun sekarang sudah ada beberapa profesor yang berani menyuarakan kritik. Media tidak tertarik untuk menuliskannya. Lebih dari itu, profesor itu gajinya di tangan kementerian aparatur negara di bawah koordinasi kemenristek dikti. Masing-masing kementerian tunduk pada para menterinya. Padahal menteri-menteri itu bekerja atas kepentingan presiden. Presiden bekerja atas pesanan koalisi yang mendukungnya. Para anggota koalisi itu bekerja atas ….. (silahkan ditelusuri sendiri). Sehingga para profesor banyak yang ketakutan jika mendapat serangan balik.

Pada akhirnya, mas Rizky Dwinanto lah yang ternyata bisa menyajikan status-status lebih greget ketimbang menunggu kritik-kritik tajam para profesor secara massal. Setidaknya, rakyat macam kita tetap bisa ketawa-ketiwi walau jelas berada pada posisi dikuyo-kuyo rezim mana pun yang berkuasa. Sebab sebagai rakyat, kita tidak punya wakil rakyat yang definitif. Kita cuma punya DPR/DPRD yang anggota-anggotanya tidak punya perjanjian langsung dengan rakyat, sehingga mereka tidak bisa dilengserkan jika mblenjani janji. Para anggota dewan itu manutnya sama parpol. Sementara parpol-parpol itu sendiri pada praktiknya adalah perusahaan politik yang ownernya bukan rakyat.

Surakarta, 3 Februari 2019

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.