Saya selalu menghargai proses belajar politik saya selama di kampus. Makanya saya tidak mau ikut-ikutan diajak untuk menuding dan menjelek-jelekkan pihak tertentu secara institusional dan secara terang-terangan, apalagi jika itu bagian dari umat Islam.
Tapi bukan berarti saya tidak kritis untuk mengomentari praktik-praktik “nganu” yang sering dimanfaatkan sebagian oknum yang memang suka menggunting dalam lipatan. Makanya saya selalu hormat pada tokoh-tokoh politik yang saya kenal sejak di kampus hingga sekarang, yang bertahan pada gaya hidup sederhana dan produktif dalam menorehkan gagasannya.
Bagi saya harga mati soal hidup sederhana dan terus produkif berkarya. Karena gaya hidup sederhana itu bukan urusan hidup miskin, tapi kemampuan mengendalikan diri dari keinginan yang begini begitu sehingga memilih secukupnya saja. Bagi saya, itu salah satu sumber kewibawaan dari kepemimpinan umat Islam yang diakui berabad-abad lamanya.
Para sultan boleh saja bermegah-megahan, tapi pasti akan keder ketika berhadapan dengan para ulama yang sehari-harinya biasa bertani dan nguli bersama para muridnya. Karena sultan hanya punya tentara tapi tidak pernah punya rakyat. Taatnya rakyat pada sultan karena mereka mengikuti para ulama yang mengakui kekuasaan sultan. Jika ulama mencabut baiat dan membiarkan rakyat menghancurkan istana sultan, niscaya seampuh-ampuhnya kekuasaan akan tumpas di tangan rakyat yang marah.
Dan hingga hari ini, saya tetap berpegang pada prinsip demikian. Tenteramnya negeri Indonesia ini karena jasa para ulama dan waliyullah yang selalu memagari emosi rakyat sehingga mereka tidak larut dalam kegalauan melihat para elit politiknya yang luar biasa memuakkan tingkah lakunya. Pemerintahan yang sudah aneh dan salah arah karena begitu menuhankan pembangunan fisik seperti sekarang, tidak begitu menggelisahkan rakyat karena di setiap zona, ada ulama besar yang dengan doa-doa dan kehadiran sapaan mereka membesarkan hati rakyat yang terus ditindas sejak ratusan tahun lalu.
Jika dibandingkan Firaun, para elit negeri ini jelas tidak ada apa-apanya. Firaun itu terbukti dalam sejarah menyejahterakan Mesir dan mewariskan karya megah yang tetap bertahan hingga kini. Bahwa dia memperbudak bangsa lain untuk menjalankan kerja-kerja besarnya, bukankah itu perilaku umum kehidupan zaman sekarang. Masalahnya kan satu saja, Firaun mengaku dirinya Tuhan karena saking merasa berkuasanya. Bandingkan dengan penguasa-penguasa zaman sekarang, yang memakmurkan bangsanya saja ngos-ngosan karena terlalu sering korupsi dan menipu rakyat. Apalagi mewariskan karya besar yang dikenang oleh negerinya. Apakah penguasa sekarang tidak menuhankan dirinya? Lebih parah, bahkan bisa mempermainkan Tuhan. Bayangkan, setelah korupsi malah nyumbang pesantren dan berangkat umroh.
Kepemimpinan umat Islam itu selalu khas. Pilar fisik kepemimpinan umat Islam adalah masjid. Strategi kepemimpinan umat Islam adalah pada pembangunan sumber daya manusianya. Dan kebesaran umat Islam terletak pada persaudaraannya, bukan pada kekuasaannya. Dan warisan sejarah teragung umat Islam adalah khazanah peradabannya yang berupa ilmu dan adat istiadat luhur, bukan pada bangunan-bangunan fisik yang semata.
Mari kita lihat hari ini, mana yang tersisa dari umat Islam kini. Adakah masjid yang dimiliki umat Islam? Ataukah sudah dikavling oleh golongan-golongan internal umat Islam? Masihkah umat Islam percaya bahwa kekuatan terbesar umat Islam adalah pada personal-personal muslim dan persaudaraannya? Dan apakah umat Islam hari ini sibuk dengan karya dan inovasi kebudayaannya? Atau terus bertengkar pada perkara-perkara remeh seputar shalat takbirnya seperti apa, ndudingnya seperti apa, hingga urusan pakai peci, surban, atau tidak pakai penutup kepala?
Juwiring, 7 Oktober 2017