Tahun 1965 adalah masa di mana rakyat dipenuhi kemarahan. Mereka yang direkrut menjadi bagian dari PKI didoktrin untuk melawan penindasan kelas sehingga sebagian yang lepas kendali membunuhi para pamong praja, kiai dan santri.

Tak pelak, rakyat yang kehilangan tokoh-tokoh panutan mereka, ditambah berita-berita hiperbolik pembantaian jenderal TNI AD yang dikabarkan dicongkel mata dan dipotong kemaluannya (padahal sebenarnya tidak sampai seperti itu) menuntut balas. Di sinilah peristiwa bar-bar terjadi.

Sangat wajar jika massa PKI dan siapa pun yang dicap PKI menerima akibat memilukan karena mereka menghadapi dua mesin perang sekaligus, pasukan TNI dan Banser serta laskar-laskar di berbagai daerah yang memang secara ideologi berseberangan dengan PKI. Tumpas sudah akhirnya.

Pelajaran berharga dari zaman kelam itu adalah jangan fanatik dengan apa pun yang menggoyahkan nilai-nilai dasar kebangsaan kita. Peristiwa itu sangat rentan terulang di tengah-tengah masyarakat kita kembali ketika kita hari ini kembali fanatik pada golongan kita masing-masing. Karena sekali meletus sebuah peristiwa pembunuhan, maka kelak akan sulit dihentikan lagi jika terlanjur terjadi perang saudara.

PKI yang tiga kali selalu melakukan kerusuhan (1920-an, 1948, dan 1965) seharusnya belajar untuk tidak main-main lagi dengan bangsa Indonesia, khususnya umat Islam. Dan saya yakin, hari ini generasi PKI seperti yang dulu sudah tidak ada lagi. Kalau ada yang menggunakan nama PKI, lebih saya lihat mereka adalah kepanjangan tangan Tiongkok yang sekarang jauh lebih kapitalis dari pada Amerika Serikat.

Umat Islam seharusnya belajar dari peristiwa pembantaian yang memilukan itu. Karena energi umat Islam yang begitu besar saat itu, sukses untuk menumpas kekuatan Timur. Sementara kekuatan kapitalis Barat tinggal ongkang-ongkang memanfaatkan momentum itu dengan menjungkalkan Bung Karno, menyingkirkan para politisi generasi orde lama dan militer nasionalis, serta menjebak Presiden Soeharto agar ikut dalam permainan Barat. Tak pelak, hanya 3 tahun saja tentara dan umat Islam bermesra. Setelahnya umat Islam, terutama NU diinjak-injak oleh mesin orde baru.

Sekarang di era desas desus lebih berharga dari pada fakta, apa kita mau menceburkan diri lagi. Apakah kita akan menggaduhkan suasana yang sudah carut marut ini akibat kisruh pilpres 2014 yang belum selesai? Apakah masih mau diperlama lagi kegaduhan semacam ini? Atau memang kita menikmati kegaduhan tidak penting semacam ini?

Juwiring, 20 September 2017

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.