Paguyuban pemerintah negara-negara di dunia (tapi berani menamai diri United Nations alias PBB) pasca Perang Dunia menyepakati model dunia aneh. Banyak negara yang namanya beda-beda ndak apa-apa, asal kesepakatan politik dan ekonominya seragam. Yang tidak mau seragam, siap-siap dikucilkan, dicap terbelakang, dicap tradisional, dan segala ejekan menyakitkan.

Mengapa aneh? Bukankah setiap bangsa seharusnya memiliki tradisi kepemimpinan dan cara berekonomi sendiri to ya. Hal itu tidak lepas dari corak kebudayaan mereka, ada yang di daerah tropis, di daerah sub tropis, daerah gurun, dll, sudah pasti melahirkan corak yang berbeda. Lha mengapa sekarang semua diukur dengan satu standar demokrasi dan ekonomi pasar versi sono. Itu kan aneh sekali. Dan produksi kejanggalan berpikir semacam ini justru dilaksanakan oleh kampus-kampus kita sendiri.

Salah satu hal aneh menurut saya adalah ketika setiap negara harus membuat laporan pertumbuhan ekonomi. Indikator pertumbuhan ekonomi yang disepakati saat ini dilihat dari pendapatan nasional, pendapatan per kapita, jumlah tenaga kerja dan pengangguran, dan tingkat kesejahteraan penduduk yang salah satunya dilihat dari tingkat daya belinya (baca: konsumsinya). Terlihat belum kejanggalannya? Ya, ada, yaitu diabaikannya faktor kebudayaan lokal yang berkembang di sana. Dihapuskannya faktor kebudayaan dari pengukuran ini, maka dengan sendirinya kita merampas kedaulatan atas sifat kemanusiaan kita.

Bayangkan, daerah yang masyarakatnya hidup santai, dari hasil bertani dan berkebun, tidak mengkonsumsi produk teknologi modern, dan tidak banyak bersentuhan dengan uang akan disebut daerah primitif. Negara yang lebih banyak fokus pada kepentingan domestiknya dan enggan ikut kubu-kubuan dalam keroyokan global seperti sekarang akan dicap negara tanpa pendirian. Dan tak sadarkah kita bahwa hari ini, kita terhegemoni oleh kebudayaan luar dan tanpa sadar sedang menggali kubur untuk kebudayaan kita sendiri, gara-gara asal telan ukuran-ukuran aneh demi mendapatkan penghargaan di panggung internasional.

Kita yang terbiasa hidup dengan makan nasi jagung dan thiwul, dianggap kurang sejahtera, karena indikator secara nasional yang dimaksud sejahtera kalau makan nasi. Perlahan, indikator aneh itu menjadi budaya, dan orang yang leluhurnya makan sagu, jagung, dan singkong, perlahan beralih ke nasi. Secara ekonomi akan meningkat jika diukur dengan indikator tadi, karena daya beli beras akan meningkat. Berbeda jika mereka tetap makan sagu yang ditanamnya sendiri. Tak ada sirkulasi uang, dianggap tak ada pertumbuhan ekonomi.

Apalagi kalau sudah membahas urusan politik, lebih gila lagi. Entah sejak kapan kebanyakan manusia menjadi sangat memercayai model demokrasi yang sangat aneh ini. Demokrasi yang membangun asumsi bahwa setiap orang dianggap sama dan setara dalam mengerti kepemimpinan dan mampu memberi mandat kepada pemerintahan dengan porsi yang sama. Guru besar yang sangat paham tentang permasalahan kenegaraan dinilai setara dengan pengangguran yang hobinya malak temannya dan jadi beban masyarakat. Bukan demokrasinya yang saya gugat, tapi metode pekok semacam ini mengapa diikuti oleh banyak orang, tak terkecuali oleh kaum muslimin. Nah, coba telusuri bagaimana leluhur kita dulu mengangkat pemimpin?

Jadi, era yang katanya modern ini, bagi saya era aneh. Sangat klenik, mistik, dan penuh berbagai keganjilan. Ini era yang kadang membuat saya bertanya sendiri, “apa masih perlu pikiran yang sehat untuk meneruskan kehidupan ini?”. Tapi jika kita berhasil bertahan, tidak ngetut, dan tidak ngeli, insya Allah akan selamat dunia dan akhirat.

Juwiring, 20 Februari 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.