Karena negara ini menganut supremasi hukum, maka hukum harus ditegakkan, tidak peduli apakah sesuai nurani keadilan atau tidak. Penggusuran harus dilakukan, tidak peduli bagaimana rakyat yang tergusur hanyalah korban para mafia birokrasi, karena peraturan harus ditegakkan. UN model begituan tetap dijalankan meskipun setiap tahun berjalan aneka manipulasi yang menghancurkan karakter generasi bangsa, karena undang-undang harus dijalankan. Bahkan dalam beragama, masing-masing bertahan pada fikihnya secara fanatik dan melobi pemerintah agar fikihnya dijadikan hukum negara tanpa melalui mekanisme musyawarah dan bahtsul masail yang benar, sehingga nanti saat penegakan aturan satu pihak bebas mengadili yang lain.

Inilah negara yang berdasarkan hukum, bukan berdasar keadilan. Inilah negara yang ngakunya berketuhanan, tapi entah benar-benar bertuhan apa tidak. Sebenarnya, hati sanubari rakyat kecil yang akalnya belum dicemari berbagai sampah akademik dari kampus dan pemberitaan sampah macam sekarang, mereka tahu mana yang sesuai nilai keadilan mana yang hukan. Tapi karena para intelektualnya kebanyakan terperangkap dalam kebodohan yang intelek, makanya aspirasi rakyat kecil ini tidak terakomodasi. Dan mari bersabar untuk terus menikmati pentas kebodohan demi kebodohan yang dikemas dalam cita rasa yang seakan-akan intelek karena dilegitimasi para profesor dan kiai. Selama negara ini masih menuhankan hukum, tidak hanya Siti Fadhilah Supari yang ditangkap, mungkin kamu yang seorang mahasiswa bisa dijebloskan ke penjara gara-gara kencing di toiletnya rektor, sementara di aturan toilet rektor berlaku larangan bagi selain keluarga rektor untuk memasukinya. Hukum tidak akan memahamimu bahwa kamu kebelet parah dan dimungkinkan kencing di celana, hukum tahunya cuma selain rektor dan keluarganya dilarang masuk toilet khusus itu, karenanya pelanggaranmu harus diganjar.

Inilah negara yang menuhankan hukum. Konon, hukum adalah segalanya. Itulah kiblat masyarakat dunia saat ini. Yang penting sepakat jadi anggota IMF, meskipun IMF adalah lintah penghisap yang berbahaya. Karena aturan hukumnya sudah begitu. Jangan bertanya soal keadilan dari hukum, karena hukum lebih tinggi dari keadilan. Maka terus-teruskanlah hidup seperti itu. Kau kira Allah tidak cemburu dengan kemusyrikan ini? Atau sebenarnya kita memang terlalu bodoh untuk memahami semua ini, sehingga otak kita cuma terkoneksi pada urusan perut dan selangkangan. Sehingga kalau takbir dan demo urusannya cuma begituan atau hal-hal yang menyangkut urusan remeh-remeh. Baru teriak bahwa Islam dilecehkan kalau pelecehnya mengutip ayat sembarangan atau menyelewengkan penggunaan simbol-simbol agama Islam. Sementara kalau ada pelecehan Islam secara ilmu dan filosofi yang sudah berlangsung lama, tidak ada yang peduli. Padahal itu lebih parah dan menyakitkan ketimbang pelecehan simbol fisik. Soal harga diri sebagai manusia yang dilanggar, juga tidak ada yang peduli. Karena barangkali memang kita sudah tidak mengerti harga diri, bahkan mungkin memang tidak punya harga diri lagi.

Negara yang berfilosofi Pancasila ini, sekarang menghinakan dirinya dengan menuhankan hukum. Hukum yang dibuat lewat persekongkolan antara kapitalis dan para politisi yang mata duitan. Dan penegakannya pun tergantung restu sang pemilik modal. Inilah potret kesyirikan yang harus kita hadapi dan kalahkan. Nabi sudah menjalankannya dengan sukses. Sementara kita bertindak saja belum sungguh-sungguh, apalagi bicara kesuksesan.

Juwiring, 25 Oktober 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.