Fakta banyaknya anak-anak remaja dan orang dewasa yang terang-terangan tidak berpuasa di bulan Ramadhan, padahal mereka muslim dan tidak sedang mendapat uzur syar’i (jadi kuli bangunan, musafir, dll) seharusnya menjadi pembuka mata para da’i bahwa dakwah itu tidak sekedar menjelaskan, tetapi menanamkan.
Kebanyakan pasti juga tahu bahwa puasa Ramadhan wajib, tapi kok ditinggalkan. Seperti halnya korupsi, koruptornya saya yakin juga tahu itu dilarang. Bahkan di beberapa kasus lokal dalam skala birokrasi kampus atau sekolahan, yang ketahuan korupsi justru kadang orang-orang yang sehari-harinya terlihat Islami juga.
Mbok ya kita malu dan mulai belajar pada ulama kita zaman dulu yang bisa mendakwahkan Islam secara mendasar melalui perangkat kebudayaan lokal. Sehingga yang lahir tidak sekedar masyarakat yang KTP dan fisiknya kelihatan Islami, tapi kebudayaannya juga Islami. Jadi Islam menjadi kebanggaan hidup sekaligus identitas kulturalnya.
Ingatlah, di Jawa silam, Islam pernah menjadi identitas kultural itu. Mau abangan maupun santri, bagi masyarakat Jawa Islam tetap agamanya sampai mati. Identitas itu masih tersisa di tatar Sunda, Minang, Aceh, Madura dan beberapa daerah lain. Yang terpenting adalah identitas kultural itu menjadi jalan agar tradisi-tradisi kebudayaan yang ada sejalan dengan nafas Islam. Dan itu mampu mengayomi semua pihak, tidak hanya umat Islam saja.
Tidak seperti sekarang, justru bermunculan generasi Islam yang ahistoris dan cenderung kapitalis. Lalu menjadikan Islam sebagai pakaian dari proyek kapitalistiknya. Sementara proyek-proyek dakwah para ulama leluhur yang sangat halus, bukannya diteruskan dan diijtihadi sesuai keadaan zaman sekarang, malah dicampakkan dan dicela habis-habisan. Na’udzubillah.
Juwiring, 15 Juni 2016