Mungkin orang akan marah jika dibukakan tabir bahwa shahih-dhaifnya hadits itu adalah produk ijtihad para ulama, bukan kemutlakan seperti al Quran. Artinya sebagai seorang muslim, memercayai kebenaran al Quran itu pilihannya hanya YES or NO, karena itu perkara keimanan (bagian dari rukun Iman). Tetapi memercayai kebenaran hadits, tidak bisa langsung main klaim seperti pada al Quran.
Keaslian al Quran sebagai firman Allah dijamin oleh Allah sendiri dan secara empirik terbukti bahwa setiap zaman jumlah penghafal Quran tidak habis-habis, mereka hafal sempurna dari huruf-hurufnya sampai detil pembagian halamannya. Jadi jika meragukan keaslian al Quran, tanpa harus dikafirkan oleh orang lain (dan sebaiknya tidak perlu olok-olokan soal kafir kayak era ini), ya sudah kafir terhadap al Quran dengan sendirinya, sekalipun KTP-nya Islam (KTP kan cuma untuk urusan administratif hidup sesama manusia).
Sementara Hadits adalah wahyu Allah yang diimplementasikan oleh Kanjeng Nabi, baik dalam perkataan maupun perbuatan, yang disaksikan oleh orang-orang yang hidup bersamanya, lalu dikabarkan secara bersambung kepada generasi berikutnya. Artinya pengujian kebenaran hadits adalah proses akademik yang membutuhkan penelitian panjang dengan ketelitian ekstra tinggi. Sehingga label shahih-dhaifnya hadits adalah produk kajian ilmiah yang tingkat kebenarannya berdasarkan kesepakatan para ulama, bukan kebenaran mutlak seperti al Quran.
Jika disebutkan hadits itu shahih menurut Imam A, artinya hadits itu memenuhi kriteria kebenaran yang dirumuskan oleh Imam A saat melakukan penelitian. Demikian pula pada hadits yang dhoif. Hingga hari ini, kurang dari 10 kitab hadits terpopuler yang tetap dirujuk turun temurun, selainnya mungkin hanya dirujuk kalangan tertentu atau tersimpan manis di museum. Bahkan Imam Ahmad bin Hanbal yang hafal 1 juta hadits, sampai meninggal hanya bisa menuliskan 20-an ribu hadits dalam musnadnya. Imam Bukhari yang hafal 600-an ribu hadits baru bisa menuliskannya kurang dari 10-an ribu hadits dalam kitab-kitabnya. Lalu di mana hadits-hadits selainnya, ya tentu saja hilang beserta wafatnya sang ulama. Artinya informasi nabawiyah yang sangat berharga lenyap sejak zaman itu.
Masalah sekunder lainnya terkait hadits adalah saat kitab tersebut disalin dan dilindungi oleh penguasa tertentu, boleh jadi ada hadits-hadits tertentu yang diseleksi dan dimodifikasi menurut kepentingan para penguasa. Karena kita sama-sama tahu, penguasa Islam yang adil dan dikenang sepanjang zaman bisa dihitung dengan jari, selebihnya mereka dikenal sebagai raja yang tidak menyenangkan. Maka dari itu, mempelajari hadits, berikut penggunaannya dalam fikih memerlukan kebijaksanaan. Tidak seperti sekarang di mana orang-orang awam yang baru ngaji 1-2 tahun sudah merasa sok yes dengan urusan dalil semacam ini sehingga kita sering menjumpai keributan lucu di media sosial terkait urusan hadits. Padahal belajar ilmu-ilmu alat saja belum pernah, belajar ushul fikih juga belum, kok begitu fanatiknya.
Itulah mengapa pada awal-awal lahirnya ilmu fikih, pemutusan hukumnya tidak cadas seperti sekarang yang dikit-dikit tanya haditsnya gimana. Karena landasan utamanya al Quran, yang ditadabburi, lalu didukung oleh referensi hadits. Maka tidak heran jika produk-produk fikih lintas madzhab terkadang ditemukan hadits-hadits yang oleh generasi GOOGLE sekarang diklaim sebagai hadits dhoif atau hadits palsu. Lalu dengan lucunya, generasi sekarang menyalahkan, terkadang merendahkan sang ulama. Pertanyaannya sederhana, kira-kira lebih alim mana antara ulama dulu yang hidupnya masih dalam lingkungan kondusif dari berbagai fitnah dengan ulama kini yang lingkungannya sudah dipenuhi hoax dan berbagai kamuflase Dajjal?
Dan yang menarik hari ini, polemik soal hadits dan dalil itu hanya berkutat pada urusan-urusan remeh seperti tata cara pelaksanaan ibadah mahdloh, urusan-urusan yang sangat politis seperti pemilu, urusan-urusan terkait kempitan (paham lah maksudnya). Sementara yang jelas-jelas disebut dalam al Quran, seperti hukum waris, hukum mahram, persatuan umat, pemberantasan riba, pembudayaan zakat, dan berbagai hal yang sangat mendasar terkait urusan umat malah sepi dari pengkajian bersama. Setiap kali kajian di masjid-masjid isinya cuma iming-iming syurga dan neraka dengan pendekatan ritual ibadah yang individualistik. Itu pun ceramahnya satu arah, ustadznya ngomong (lebih seringnya mendoktrin), jamaah yang awam ngowoh mendengarkan. Katakanlah ada 100 pengajian dengan 100 versi, maka kita bisa melihat akan ada 100 potensi perbedaan yang bisa dikonflikkan di padang kehidupan secara terbuka, apalagi ada medsos dan perangkat pendukungnya.
Makanya kembali kepada al Quran dan sunnah itu tidak cukup sekedar jargon yang diteriak-teriakkan. Tapi itu memang usaha mulia yang berat untuk dijalani, tapi harus tetap dilakukan. Generasi muda yang menyadari hal ini tentu akan tergerak ambil bagian sebelum umat Islam semakin rusak dalam kejumudan dan konflik tak berkesudahan, terutama konflik-konflik yang menjadi bara dalam hati yang suatu saat ketika sampai pada momentumnya akan pecah menjadi bentrok fisik untuk saling menyingkirkan. Sekarang masjid-masjid mulai menjadi tempat perebutan pengaruh. Tak ubahnya masjid menjadi markas partai politik saja rasanya.
Juwiring, 27 Juli 2016