Gegara banyak aksi bom bunuh diri, saya jadi teringat pada kisah tentang klarifikasi Rasulullah ketika para sahabat mengelu-elukan salah seorang yang gagah berani dan gugur, lalu dikira syahid. Pemuda dari Madinah ini turut berperang (biar kita sama-sama meneliti, silahkan dicari datanya) melawan musuh. Dia bertarung dengan gagah berani dan ditemukan mati dengan banyak luka tusukan. Rasulullah kemudian meluruskan, bahwa pemuda ini niat perangnya tidak karena Allah dan di akhir hayatnya dia bunuh diri dengan pedangnya sendiri karena tak tahan menderita luka-luka.
Kisah ini membuat saya benar-benar sadar akan bahaya bom bunuh diri. Membaca beberapa fatwa yang membolehkan tindakan tersebut, umumnya lebih karena demi menjaga rahasia, karena kalau pelakunya beraksi kan langsung mati jadi susah dipaksa untuk membocorkan rahasia. Cuma, metode bom bunuh diri, di samping menurut saya kok seanalogi dengan tindakan pemuda tadi, secara militer juga tidak efektif, karena justru lebih banyak menimbulkan teror, apalagi jika dilakukan di linkungan masyarakat sipil. Jadi mudharatnya jelas lebih besar.
Lagi pula, perlawanan yang terhormat adalah perlawanan yang head to head, face to face, baik dengan senjata, pena, maupun diplomasi. Karena Islam tidak meletakkan kemenangan sebagai tujuan, kemenangan adalah karunia Allah. Kemenangan sejati adalah ketika mereka ridha dengan keputusan Allah, dan Allah meridhai perjuangan mereka. Tugas umat Islam adalah menjalankan peperangan dengan jujur dan adil, baik perang fisik maupun non fisik. Makanya perang itu tidak gampang, karena sebelum dikirim perang, pasukan yang dikirim harus yang kualifikasinya mampu menaklukkan nafsu dalam dirinya sendiri dulu.
Sebagai muslim, kebanggaan saya pada pasukan pejuang Palestina, Rohingya, dan di manapun umat Islam ditindas adalah keberanian mereka bertarung secara jantan dengan para agresor, walau secara kuantitatif mereka toh akhirnya kalah. Tapi keberanian mereka dan kehormatan mereka harum di hati kami, karena ternyata pewaris mujahid Badr dan Uhud masih ada. Saya pribadi bahkan tak punya nyali yang cukup untuk menjadi seperti mereka yang tegar menghadang tank-tank dan pesawat tempur penindas yang terus meneror masyarakat muslim.
Di atas semua itu, jalan diplomasi dan dakwah bil hikmah tetap harus diprioritaskan. Karena sezalim-zalimnya penguasa, baik muslim maupun kafir ia berada dalam genggaman Allah. Bahkan al Ghazali melarang umat Islam kala itu untuk menjelek-jelekkan penguasa Mongol Tartar yang menghancurkan Kekhalifahan Baghdad dan pusat ilmu umat Islam. Karena sumber kekalahan umat Islam adalah akibat jauhnya umat Islam dari cahaya-Nya. Kebencian tidak akan memberi manfaat sedikitpun, selain menimbulkan provokasi dan tindakan emosional sporadik.
Maka yang beliau galakkan adalah menghidupkan kembali tradisi ilmu. Beliau tulis kitab Ihya Ulumuddin dan kelak seabad kemudian lahir pemimpin besar dari umat Islam, Nuruddin Zangi dan Shalahuddin al Ayyubi. Di zaman itu yang belum ada medsos, perbaikan masyarakat butuh seabad lamanya. Di zaman ini, yang berita hoax lebih hits dari pada ta’lim dan diskusi, yang umatnya belum banyak yang suka baca buku, terlebih berpikir mendalam atas permasalahan umat, apa tidak butuh waktu yang lebih lama lagi. Dan kuncinya, sabar dan telaten belajar dan berbagi, saling mencerahkan pikiran umat.
Niat berjuang di jalan Allah tentu sudah menjadi cita-cita setiap muslim yang sejati. Tapi cara dan metodologinya harus dipelajari, tidak ujug-ujug ketiban pulung dari langit seperti tradisi yang berakar dalam kepercayaan kebatinan masyarakat Jawa. Kalaupun mekanismenya harus lewat pulung, tentu saja pulungnya Allah ya tidak bakal ngawur mendatangi orang-orang yang secara lahir dan batin tidak mendekat pada-Nya. Allah mengaruniakan iman dan akal, agar manusia tidak menjadi liberal dan materialistik, juga tidak menjadi klenik dan bertakhayyul, tetapi di tengah-tengah keduanya dengan terus berpegang pada al Quran.