Terkadang kita menyepelekan ritme waktu yang sudah Allah tetapkan pada manusia. Karena disepelekan, maka tidak perlu heran jika akhirnya kita menjadi umat yang disepelekan juga di peradaban.
Soal waktu shalat, sudah mafhum kita soal pembagian waktunya. Cuma era digital hari ini membuat kita kehilangan kesadaran waktu yang sesungguhnya, wong acuan waktu shalat kita bermodal jam dan aplikasi azan di smartphone Android. Itu pun kalau menurut Pak AR Sugeng Riyadi, kepala observatorium as-Salam, jadwal shalat fardhu kita sering kecepeten dibandingkan yang seharusnya. Karena patokan yang diajarkan kanjeng Nabi itu dengan melihat dan merasakan alam, tidak sekedar menghitung dengan kemampuan olah angka.
Kemudian tentang hari. Mengapa hari Jumat disebut sayyidul ayyam? Yang jelas hari itu dimuliakan oleh Allah di dalam al Quran dan kanjeng Nabi lewat banyak sabdanya. Maka idealnya hari Jumat adalah hari raya kecil dan umat Islam libur dari banyak pekerjaan agar bisa berkumpul, bermusyawarah atas banyak urusan mereka, bermaafan bagi yang berselisih, mengeksekusi pesakitan yang sudah divonis hakim, dll. Lalu hari Sabtunya bermuhasabah, mempersiapkan aktivitas pekan selanjutnya. Hari Ahad-Khamis, kembali beraktivitas baik bekerja maupun belajar.
Kemudian tentang bulan, Allah memuliakan empat bulan Haram (Dzulqaidah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab). Di bulan itu umat Islam dilarang melakukan perang, dan hanya boleh angkat senjata jika dan hanya jika diserang lebih dahulu oleh musuh. Jika dilihat ritme yang dijalankan Nabi dan para salaf, peperangan banyak dilakukan pada bulan Ramadhan, sehingga Idul Fithr menjadi hari perayaan kemenangan (makanya lahir qoul minal aidzin wal faizin). Setelah itu mereka semeleh dan menjalankan ibadah haji dan umrah dengan puncaknya adalah Idul Adha. Setelah itu, umat Islam memasuki bulan Muharram untuk memulai perencanaan kehidupan tahun selanjutnya. Banyak peristiwa monumental yang diperingati pada bulan itu, khususnya tanggal 10 Muharram.
Bulan-bulan Haram adalah bulan yang tepat untuk menikah dan membangun konsolidasi umat. Karena jeda 3 bulan, dengan penghormatan bangsa Arab (muslim maupun musyrik) yang tinggi pada bulan Haram membuat umat Islam dapat beribadah dengan tenang, karena musuhnya tinggal orang-orang munafik yang hobi menebar sasus, persis seperti zaman sekarang, kerusakan dan keretakan umat Islam kebanyakan juga datang dari umat Islam yang suka heboh bikin sensasi. Sayangnya, berabad-abad kita haji, pernahkah melahirkan konsolidasi pendirian pan-Islam lagi? Hahaha, karena saya belum pernah ke Haramain, saya cuma dikasih cerita kalau di sana umat Islam masih susah berkonsolidasi membangun kesatuan dakwah, apalagi di luar dua tanah suci itu, yang penguasanya sudah berkiblat kepada Pakde Sam. Qiqiqi
Pasca bulan Muharram, umat Islam membuat berbagai persiapan, termasuk kemungkinan perang yang akan dilancarkan pada bulan Ramadhan. Sampai datangnya bulan Rajab, maka umat Islam melakukan evaluasi terakhir sebelum masa jihad besar di bulan Ramadhan. Itulah mengapa kemudian di bulan Sya’ban, umat Islam mulai dianjurkan banyak berpuasa, menjalani laku prihatin sebelum datangnya Ramadhan. Begitu Ramadhan datang, umat Islam sudah dalam kondisi siap tempur. Kira-kira seperti itu siklus alami yang hendak Allah didikkan pada manusia.
Namun apa yang terjadi sekarang? Apa sesungguhnya umat Islam memiliki kesadaran atas berlalunya waktu? Apa arti penting waktu yang sudah berlalu ini? Apa arti penting dari sejarah? Apa arti penting dari nandzuruu maa qaddamat lighad? Saya kok lebih banyak melihat bahwa kita memang umat buih yang mengambang mengikuti gelombang karena pijakan waktu kita tidak jelas, pijakan sejarah, tauhid, dan kebudayaan kita juga kacau.
Allah menurunkan syariat Islam tidak seperti undang-undang bikinan DPR kita yang penuh celah untuk diakali. Dia juga tidak mengutus Kanjeng Nabi, lalu diteruskan para waliyullah di tanah ini untuk sekedar jadi penganut kebudayaan yang belum tentu benar, tetapi memberi teladan kepada kita untuk menjadi manusia merdeka dan membangun budaya baru yang sesuai ritme-Nya.
Apa dikira membangun tradisi hari Jumat dan memeriahkan Idul Adha agar lebih dahsyat dari Idul Fithr sebuah perkara remeh? Apa mewujudkan cukup sekedar bikin SK secara politik dan memaksa orang mematuhinya? Jika Sunan Kalijaga saja berijtihad membuat carangan wayang lewat punakawan untuk dekonstruksi feodalisme Jawa warisan kebudayaan raja-raja, atau Kiai Wahab Chasbullah berijthad membuat tradisi halal bihalal agar faksi-faksi politik Indonesia tidak larut dalam perpecahan, sehingga tidak menggiring pada perpecahan yang lebih besar di tengah masyarakat, lalu apa ijtihad kita yang sekarang udah masuk zaman sasus dan hoax?
Zaman ini kita dikasih internet dan fesbuk. Pilihan ada pada kita. Mau meneruskan perang Siffin dan Geger Mataram, atau memilih perjanjian Mada’in dan lenggah minandito di tanah perdikan membangun kembali jaringan ulama Nusantara pasca perang Jawa (Diponegoro). Surat al Ashr kini telah dilupakan, tinggal menjadi kidungnya para khatib untuk meninabobokan jamaah shalat Jumat.
Demi waktu, sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian, kecuali ……
Ngawen, 7 Juli 2016