Renungan ini hanya bagi yang sungguh-sungguh rindu Kanjeng Nabi.
Bayangkan, ada seorang laki-laki yang baik tinggal di tengah-tengah sebuah masyarakat yang majemuk. Ia penyayang, dermawan, sabar, dan memiliki segala pesona dari ukuran orang yang baik. Hanya satu saja yang kurang, dia tidak punya infrastruktur kekuasaan. Dia hanya orang biasa, kelas menengah yang memukau kebaikannya, menjadi kebanggaan kaumnya, dan sangat indah dipandang mata.
Lalu, pada suatu hari dia berkata-kata tentang sesuatu yang berbeda dari kebiasaan. Ia bercakap tentang Allah dengan perspektif baru, padahal masyarakatnya telah mengenal Allah dari leluhur mereka berabad-abad. Ia bercakap tentang keadilan dalam perspektif baru, ketika masyarakat hanya mengenal pertuanan dan perbudakan yang mereka sangka keadilan. Dalam banyak hal, dia berucap sesuatu cara pandang baru yang asing dan berbeda dari mainstream di zamannya.
Cobalah untuk berandai-anda diri kita hadir menyaksikan peristiwa itu. Apa yang terpikir di benak kita? Orang aneh? Orang gila? Ora umum? Coba jujurlah, mari bertanya pada diri kita sendiri seandainya kita hidup di zaman itu. Adakah jaminan kita memercayai lelaki baik itu. Yang dengan reputasi kebaikannya selama itu, tiba-tiba mengucapkan perkataan yang aneh, yang tidak umum di tengah masyarakatnya, yang membahas hal-hal yang sering diungkapkan masyarakat tapi dengan sudut pandang berbeda. Ia lafalkan kalimat-kalimat aneh (al Quran) yang tidak lazim di dengar masyarakat. Adakah jaminan kita percaya? Renungkanlah, itulah makna dari pentingnya hidayah.
Hari ini, bisakah kita menghadirkan perasaan murni itu kembali. Di tengah pusaran arus ketidakpastian, konflik, ketidakpercayaan, penipuan, dan manipulasi akbar yang memporak-porandakan pikiran umat manusia. Sanggupkah kita mendengar sesuatu dengan perhatian dan ketenangan akan setiap hal yang mampir di telinga kita? Ketika ada orang-orang aneh yang membahas urusan-urusan yang juga kita bahas, tetapi mereka memiliki perspektif yang berbeda dengan kita. Bisakah kita jujur belajar dari fenomena lelaki baik yang mendadak aneh tadi?
Saya tidak sedang mengatakan bahwa yang punya pendapat nyeleneh pasti benar. Tetapi, kejadian lelaki baik tadi adalah fakta sejarah, yang terus berulang sejak zaman manusia di permulaan hingga zaman kita. Setiap utusan-Nya pasti orang aneh di zamannya, adakah kita punya jaminan memercayai orang aneh semacam itu. Di zaman ini, apa kita tidak tertarik untuk mempertanyakan kembali apa yang telah berlalu dari hari-hari kita? Jangan-jangan kita tak acuh dengan orang-orang aneh yang dimaksudkan oleh-Nya.
Betapa banyak pameran kebodohan dipertontonkan di depan kita, tapi kita tidak merasa sedih atau gimana-gimana. Betapa banyak ujaran kebencian, keberpihakan atas kepentingan yang pragmatis ditebar bak spora jamur dan meracuni ruang-ruang qalbu kita. Dan semua itu membuat kita kehilangan kesadaran untuk mengenali orang-orang biasa yang luar biasa di sekitar kita. Mata lahir kita sudah ditipu pemandangan fisik yang penuh kamuflase. Mata batin kita tak mampu menangkap fenomena itu, mungkin karena kita tak menggunakannya dengan baik, mungkin juga karena ketiadaan hidayah yang lama kita biarkan padam.
Setiap nabi adalah orang-orang terpilih dari kaumnya, yang ciri-cirinya sebagaimana mereka, yang menonjol kebaikannya, dan kebanyakan mereka orang biasa, masyarakat kecil seperti umumnya. Pertanyaan itu pun berulang, seandainya kita hidup di zaman mereka, apa ada jaminan kita memercayainya?
Ngawen, 8 Juli 2016