Menurutku, jika ditarik secara garis besar, profesi yang ada di dunia ini cuma dua jenis, pertanian dan perdagangan.
Pertanian itu sesuatu yang prinsipnya menanam atau berinteraksi dengan sumber originalnya. Saham mayoritasnya Allah, manusianya cuma kebagian merawat dan melakukan hal-hal yang sesuai dengan ketentuan-Nya. Makanya untuk yang menjalankan profesi ini, mereka tidak dituntut apa-apa kecuali sabar dan tawakkal setelah menjalani prosesnya dengan benar dengan niat tulus karena-Nya. Petani, nelayan, guru, dokter dan aneka profesi jasa dan pelayanan kebanyakan termasuk dalam kategori ini.
Sedangkan perdagangan itu sesuatu yang prinsipnya didasari atas kerelaan, kejujuran, dan keadilan. Untuk profesi jenis ini, Allah memberikan banyak petunjuk dan peringatan, misalnya melakukan pencatatan, tidak boleh curang dalam timbangan, tidak boleh berdusta, tidak boleh riba, dan macam-macam aturan ketat lainnya. Perdagangan menjanjikan pintu rizki yang besar, karena ia setingkat lebih berat cobaannya dibandingkan pertanian. Karena di dalam perdagangan kemampuan mengendalikan diri untuk tidak melanggar pantangan dibuktikan. Selain menjanjikan pintu rizki yang besar, perdagangan juga memiliki resiko yang juga besar.
Menjadi pedagang yang jujur di era ini semakin susah, karena kebanyakan pedagang saat ini menyamar menjadi profesi macam-macam. Mereka menjadi seolah-olah pelayan dengan menawarkan aneka jasa, tetapi sebetulnya niat utama dalam hatinya bertransaksi, sehingga sang pembeli terkadang tidak menyadari dan tidak diuji kerelaannya dahulu. Padahal berjual beli tanpa meminta kerelaan sang pembeli, apa itu tidak disebut dengan pengibulan? Teknologi marketing yang semakin dahsyat saat ini kira-kira membuat konsumen menyadari sepenuhnya apa yang akan dia konsumsi atau justru membuat mereka tidak mampu berpikir dengan kesadarannya? Inilah relevansinya mengapa hadits Nabi soal niat itu sangat penting. Karena sebagai sesama manusia kita cuma bisa menilai orang lain berdasarkan tindakan lahirnya, tidak mungkin mampu menembus hatinya apalagi mengetahui niatnya.
Dan mari kita perhatikan benar-benar di sekitar kita. Apakah kita masih melihat ada petani-petani kehidupan? Apakah kita masih melihat adanya pedagang-pedagang yang jujur sesuai dengan prinsip-prinsip dasarnya? Periksa kembali diri kita, petani atau pedagangkah. Petani yang bersyukur atau yang kufur? Pedagang yang jujur atau yang suka ngibul? Jika melihat keadaan dunia saat ini yang penuh dengan kefasikan dan kerusakan, maka bisa kita simpulkan bahwa kebanyakan kita (khususnya umat Islam) adalah biang dari kerusakan itu sendiri. Aktivitas lahir kita yang seolah-olah terlihat Islami di mata manusia sebenarnya adalah kebohongan yang terselenggara secara terus menerus akibat kebodohan kita (yang malas belajar) dan ketidakjujuran kita (akibat penyakit kemunafikan).
Semoga di bulan yang mulia ini, kita bisa menemukan penyakit-penyakit itu dan mengikisnya. Karena kalau cuma puasa menahan lapar dan haus, leluhur kita orang-orang di Jawa dan Nusantara sudah ahlinya. Wong nggak makan seminggu aja kuat, masak cuma nggak makan minum seharian saja sudah tidak kuat. Kita diminta berpuasa tidak sekedar menahan lapar dan haus, tetapi menemukan kesejatian kehidupan kita.
Juwiring, 27 Juni 2016