Sejak ayat “innamaa yakhsyallaha min ‘ibadihil ulama'” saya pahami sebagai kaidah al Quran dalam mendefinisikan ulama, maka saya jadi plong dalam melihat siapa pun.
Tidak ada satupun manusia selain para Nabi dan Rasul yang berhak mengklaim diri sebagai ulama. Karena setiap manusia menjalani proses ujian yang sama untuk merasa senantiasa takut kepada Allah agar ia layak mendapatkan maqam ulama.
Uama sejati, akan sangat ketakutan kalau dirinya disebut ulama. Apalagi kalau gelar ulama yang disematkan orang disekitarnya membuatnya dikultuskan dan dimaksumkan seolah-olah seperti malaikat. Para ulama sejati, hidupnya justru memilih seperti wajarnya manusia dan terkadang memilih tarikat seperti kaum mustadz’afin.
Makanya kalau ada aksi bela-belaan dengan label ulama, saya tidak ikut-ikutan. Kalau pun sama-sama membela tokoh yang kebetulan mereka menyebutnya ulama, saya ya pakai argumen bahwa beliau manusia dan kalau dilecehkan maka saya tidak terima, sebagaimana saya tidak terima kalau diri saya dilecehkan. Begitu saja.
Soal apakah orang lain ulama atau bukan, yang penting kalau ada orang ngomong saya simak. Kalau cocok saya ambil kalau tidak ya saya hargai perbedaannya. Kalau perkataannya penuh tuduhan, kalau punya bukti ya dicounter, kalau tidak punya (tapi sudah punya feeling dia menuduh) ya cukup didiamkan.
Insya Allah kita akan lebih selamat ketika keyakinan keulamaan seseorang yang kita ketahui lebih banyak kita simpan dalam hati ketimbang dilabel-labelkan. Karena setiap manusia itu bisa salah dalam berkata dan berbuat. Jadi dengan setiap kita mendahulukan akal sehat dalam menerima dan menyampaikan sesuatu, insya Allah kita akan lebih selamat.
Perbedaan pendapat itu wajar. Bahkan konsekuensi perbedaan pendapat mungkin bisa saja berakhir dengan perang. Tetapi selama pihak-pihak yang berperang berlandaskan pada keyakinan dan menghargai nilai kemanusiaan, maka perangnya pasti akan sangat indah dan dicatat sejarah. Dua ksatria yang bertarung, yang mati akan harum di mata rakyatnya, yang hidup akan dihormati karena dia sendiri sangat menghormati lawan yang dikalahkannya.
Di zaman ini, bukankah kita kembali hidup di zaman berhala. Segala hal kita berhalakan sehingga kita bertengkar satu sama lain karena berhala yang berbeda. Berhala itu bisa berupa uang, kedudukan, tokoh idola, bahkan keyakinan madzhab dan ideologi. Saya rasa Allah tidak menghendaki umat Islam yang fanatik semacam itu.
Al Quran adalah petunjuk yang hakiki, makanya dia hanya bisa berinteraksi dengan akal yang sehat sesuai fitrah. Bukankah sering terjadi, banyak pembunuhan kejam dan penganiayaan mengatasnamakan al Quran. Masak iya, yang salah al Quran? Saya beriman kepada al Quran dan bersaksi bahwa al Quran tidak akan merendahkan martabat manusia sebagai khalifah-Nya.
Surakarta, 23 Desember 2017