Siang ini, seperti biasa cah bocah sekolah pinggir kali shalat dzuhur ke masjid milik masyarakat. Saya yang biasanya mengikuti barisan paling akhir, kali ini berangkat lebih awal. Saya dapati segerombolan bocah yang asyik menikmati buah matoa. Tentu saja itu bukan matoa milik kebun sekolah, melainkan milik tetangga.
Saya hampiri, saya tanya mereka. “Udah minta izin sama yang punya kebun?” Mata elang saya menuju si Y yang kelasnya paling tinggi, dengan harapan membuatnya mengaku duluan sehingga diikuti adik-adiknya. Dengan yakinnya dia jawab sudah sambil bergaya mencari seseorang untuk dijadikan legitimasi izinnya. Saya dengan santai mendesak dia untuk mengatakan yang jujur, karena saya tahu kebun itu rumahnya kosong, wong saya sehari-hari tinggal di lingkungan sekolah.
Hingga saya terpaksa menggertak untuk membuat dia mengakui sambil malu-malu aksi nggragasnya yang ketahuan ini. Masih saja dia menyebarkan kesalahannya kepada yang lain, misal si H, G, dll yang juga ikut menikmati dan memang mereka juga tidak meminta izin. Wong tidak ada yang dimintai izin. Akhirnya mas Jefri menyuruh mengembalikan sisa buah yang “dicuri” tadi di bawah pohon matoa. Masalah siang ini selesai. Wakau sebenarnya saya masih menjumpai perilaku nggragas semacam ini.
Tentu saya tidak membenci mereka, walaupun tatapan mata elang saya memang bisa menjadi alasan mereka untuk menyimpulkan hal semacam itu di benak mereka. Semoga peringatan siang ini bisa berkesan dalam benak mereka. Sangat disayangkan hal semacam ini tidak banyak ditanamkan oleh orang tua mereka sehingga ketika ditanya dengan soal izin, masih saja mencari alasan pembenaran mencuri. Atau jangan-jangan kebiasaan semacam ini dianggap biasa, dibenarkan oleh lingkungan, dan bukan lagi dianggap hal yang memalukan?
Saya sangat getol dan keras dengan hal ini, karena ketika saya seusia mereka juga pernah menganggap hal semacam itu biasa saja. Waktu itu saya masih di desa dan suka mencari rumput di alas-alas pinggir desa. Begitu lihat tebu, tebon canthel, degan kelapa, jambu mete, duet matang, atau pelem keong yang ranum salah satu dari kami yang spesialis memanjat pohon pasti langsung memetiknya untuk dinikmati bersama. Pohonnya besar-besar di pematang sawah atau di ujung ladang, yang entah benar-benar milik petani atau bukan. Itu pun sekarang saya sadari sebagai kesalahan dan tetaplah sebuah pencurian meskipun kadang kami mengisahkannya kembali sambil tertawa. Masih ingat di benak saya beberapa kali aksi pencurian itu ketahuan dan melihat parang diacungkan ke atas.
Pertanyaan saya, jangan-jangan budaya nggragas yang bisa setara dengan aksi pencurian semacam itu dalam tata nilai sosial kita sudah bukan hal yang memalukan lagi. Sehingga ketika nyunat uang sisa proyek dan kembalian belanja meskipun hanya 10 ribu atau 20 ribu dianggap biasa juga. Dan makin ke sini rasa malu tergerus sebatas ketika kejahatan kita ketahuan, jika tidak ketahuan maka tidak ada rasa malu untuk korupsi dan melakukan berbagai kenistaan. Atau bahkan lebih parah lagi, korupsi, sudah jadi tersangka, ternyata tidak malu. Hewan saja kalau mengambil milik petani kalau dipergoki akan lari. Ini ternyata tidak.
Sungguh nggragas adalah penyakit warisan dari makhluk bukan manusia. Karena manusia tidak mungkin separah itu kan.
Juwiring, 2 Agustus 2017