Dari kamar, sayup-sayup terdengar berita televisi yang sedang ditonton ayah tentang aktivitas kapal ilegal di salah satu perairan sekitar Indonesia. Kapal tersebut memiliki beberapa bendera, dan saat memasuki wilayah Indonesia mereka kibarkan sang Merah Putih sehingga oleh tim patroli laut dikiranya nelayan Indonesia, sebelum akhirnya ketahuan dan ditangkap. Sebuah fenomena undlap-undlup.
Tiba-tiba saya nyengir. Itu baru kapal. Bagaimana jika itu orang Indonesia yang isi kepalanya sudah bukan Merah Putih. Entah isinya Amerika Serikat, Eropa, Tiongkok, Saudi, Iran, atau yang lainnya. Yang kumaksud bukan manusia-manusianya, melainkan kepentingan penjajahan yang dibangun dan diekspor ke negeri ini. Kemudian mereka bercokol di negeri ini, nangkring di Senayan, di Istana, di Kementerian, di perguruan tinggi, di media massa, bahkan yang tampak sholeh-sholeh di TV-TV yang mereka dirikan.
Cukuplah hal semacam itu menjadi alasan bahwa faktor bendera tadi termasuk sumber keributan di negeri ini bukan. Tidak mesti mereka agen dari yang punya bendera itu, bisa jadi yang di sini memang hobinya selingkuh demi lembaran dolar dan kemewahan. Seperti zaman dulu, kaum peselingkuh ini suka genit menggoda dan mengorbankan saudara-saudaranya sendiri.
Maka kemudian timbul pertanyaan apa itu Merah Putih? Jika itu hanya bermakna bendera sebagaimana bendera-bendera di kepala orang-orang selingkuh tadi, apa bedanya. Bagiku, Merah Putih adalah simbol dari dua hal, penegakan keadilan dan pembelaan kepada yang teraniaya. Penegakan keadilan itu perjuangan jihad dan pembelaan kepada yang teraniaya adalah wujud kasih sayang. Spirit Merah Putih bukan sekedar bendera nasionalisme sempit, tapi ia simbol yang mewakili keyakinan agamaku dan wujud semangat kemanusiaan yang sejati.
Jadi, selamat menyaksikan berbagai pemandangan undlap-undlup semacam tadi. Jangan-jangan kita juga menjadi tukang undlap-undlup semacam itu. Selamat pagi dan selamat undlap-undlup.
Ngawen, 25 Juni 2016