Saya heran dengan orang yang selalu illfeel lihat Jokowi dan Prabowo akur. Saya tidak punya tendensi politik dan kepentingan pada mereka berdua. Saya cuma heran dengan orang-orang yang mempertanyakan akurnya mereka berdua. Lha apa yang salah, bukankah perbedaan pendapat itu wajar setiap hari bisa dilakukan, tapi persabahatan kan tidak boleh putus.
Perbedaan pilihan politik ada saatnya untuk diekspresikan yaitu saat kampanye hingga pemilu. Setelah itu kan seharusnya hidup normal kembali. Harusnya rakyat bersatu sebagai rakyat mendukung program pemerintah yang positif dan memprotes program pemerintah yang negatif. Termasuk demo tanggal 4 itu ya fokus saja untuk menuntut proses hukum atas bacot Ahok yang tidak punya tata krama itu. Jangan tarik ke sana ke mari yang tidak perlu.
Bahwa mungkin ada yang belajar tentang konspirasi besar di balik Ahok, Jokowi, maupun siapa pun penguasa di negeri ini itu adalah analisis. Bahkan kalau pun terbukti begitu, ya rakyat tetap harus cerdas menggunakan cara-cara politik dan demokratis yang telah disepakati bersama dalam sistem yang ada agar tidak menimbulkan kerusuhan dan ketidakstabilan nasional.
Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa ketidakadilan terhadap umat Islam memang dihembuskan sejak berpuluh-puluh tahun silam, itu semua tidak pantas disalahkan semuanya kepada saudara-saudara kita sesama bangsa Indonesia. Mereka kebanyakan juga cuma proxy yang dimainkan untuk diadu dengan saudaranya sendiri. Jadi umat Islam dituntut untuk cerdas menyikapi situasi dengan kepala dingin. Mau demo ya berdemo dengan etika yang terbaik, mau tidak demo ya tunjukkan penghormatan pada yang demo karena menunaikan hak konstitusinya.
Menjaga akal agar tetap berfungsi itu memang susah. Karena ini zaman dengkul berkuasa, ya penguasanya ya rakyatnya juga. Penguasa yang pakai dengkul kebijakannya memang sering bikin diare. Rakyat yang pakai dengkul juga gampang mencret karena sembarang hal ditelan. Jadi sebagai bangsa yang katanya mau berdemokrasi ya belajar untuk tidak baper mendalam. Demokrasi yang sehat itu ya pakai akal, bukan perasaan benci dan cinta buta, apalagi dengkul.
Bagi umat Islam, seharusnya tidak kehilangan akal, karena supremasinya kan hukum Allah. Pancasila adalah aktualisasinya dalam menjalankan hidup bernegara karena berdampingan dengan masyarakat lain yang majemuk. Jika keislaman kita itu benar-benar wujud, pakai cara demokrasi pun sebenarnya tetap mampu mendominasi. Makanya jika umat Islam yang katanya di Indonesia ini mayoritas kok malah kelabakan secara sosial kebudayaan menghadapi tekanan ekonomi politik dari kapitalis global, apa kita tidak curiga bahwa ada di antara kita yang menjadi pengkhianat dengan bersekutu pada para perampok negeri ini. Perbedaan yang ada sebenarnya bisa diorkestrasi selama kita tidak terobsesi berbagai materi hingga suka menikung di belakang. Yuk, muhasabah. Jik do kemaruk po ora awake dewe?
Juwiring, 3 November 2016