Dalam perjalanan sejarah orang-orang Timur Tengah, khususnya Arab mereka memang tidak mengenal istilah ngalah. Maka ya tidak ada budaya bagaimana “menang tanpa ngasorake”. Satu-satunya catatan penting yang kentara dalam sejarah permulaan Islam, metode “menang tanpa ngasorake” dan “ngalah” diterapkan Rasulullah pada perdamaian Hudaibiyah. Dan kalau bicara soal ngalah ini, Rasulullah ora kurang-kurang contohe, baik dalam keteladanan individu beliau maupun dalam proses kepemimpinannya. Pertanyaane, wis maca shirah Nabawiyah?

Bahkan ada yang bilang bahwa jika mereka ngalah, itu artinya kalah. Apalagi kok sampai harus meminta maaf, itu lebih kalah lagi. Makanya kalau Bashar al Asad meskipun sejak lama tidak didukung mayoritas rakyat Suriah karena kekejamannya, ya ga mungkin mau turun kayak Pak Soeharto. Kalau turun dan minta maaf, kalah dong namanya. Makanya, yang hari ini nggak move on soal Pak Harto dan masih tidak memaafkan beliau ya pasti aga baper serius. Gus Dur aja menganggap beliau musuh bebuyutan ketika dulunya justru jadi teman baik setelah lengser, mosok kita yang cuma kroco-kroco gini bapernya ga karuan.

Demikian pula yang kontra, meski dulu sudah diberi arahan oleh Syaikh Imran Hussein untuk menggunakan jalur diplomatik dengan Rusia, agar Putin yang mengintervensi langsung pada kekuasaan Asad, mereka justru memilih perang sembari mengambil gelontoran dana dari negara-negara Arab yang kita sama-sama tahu bahwa sektor politik mereka sudah dikontrol Zionis. Karena perang itu lebih terhormat, katanya. Meski harus berakibat pada terbunuhnya salah satu ulama besar di sana, Syaikh Ramadhan al Buty dan ribuan rakyat menderita tanpa kejelasan.

Di Mesir, ketika mencoba berdemokrasi di mana rakyat Mesir sebagiannya telah mencita-citakan Ikhwanul Muslimin kembali berjaya di sana. Meskipun kalangan nasionalis sekular dan kaum Kristen Koptik tidak senang dengan kebangkitan itu. Akhirnya lagi-lagi negara-negara Arab yang lain (you know lah), melalui pion-pionnya yang dulu mulanya berkawan lalu lepas tangan membuat sang Presiden terpilih harus terjungkal dan kini seluruh jajaran Ikhwanul Muslimin diberangus tanpa keadilan. Lagi-lagi kisah pilu terjadi, pembataian dan perburuan tanpa pengadilan.

Masih banyak potret-potret memilukan di negara yang dahulunya pernah bersatu dalam cahaya Islam. Mereka hari ini lebih suka bertengkar ketimbang bersatu. Makanya tidak berlebihan jika Ibnu Khaldun menyebut bangsa Arab sebagai bangsa yang rapuh, dan hanya Nabi yang mampu memimpin mereka sehingga bisa bersatu dan kuat seperti di masa-masa permulaan Islam. Aku angel ngarani bahwa ke-Islam-an mereka lebih baik dari yang di Indonesia. Neng ngendi luwih apike? Bahwa mereka konon lebih banyak memahami sumber-sumber Islam, nah kudune kan lebih bisa memelihara kehidupan seperti yang dijelaskan dalam maqashid syari’ahnya as Syatibi. Lha iki kok ra karuan ngene. Kontradiktif kan.

Anehnya, yang disini, yang telah harmoni (meski juga pernah mengalami peperangan panjang berpuluh-puluh tahun) justru mau diperkeruh dengan aneka masalah dari negara yang kacau balau kayak gitu. Katanya belajar agama, pulang-pulang malah jadi horor. Jika dilihat malah lebih kayak agennya aliran A di sana, aliran B di sono, dll. Lho gimana, bukane harusnya dari sini start-nya sama-sama ingin belajar, belajar di sana, lalu kembali lagi bersatu dan bertukar pikiran di sini. Maka jadilah kekuatan besar seperti di era pergerakan nasional di mana umat Islam bisa menjelma menjadi sebuah kekuatan besar dalam menyokong berdirinya Republik ini bersama elemen bangsa yang lain.

Tapi mau dikata apa, kita juga mengalami inferioritas serius. Kita tidak mampu lagi meng-Islam-kan kebudayaan, menciptakan realitas-realitas yang Islami. Sekarang, nunggu realitas keluar, baru buru-buru difatwai ini sesat, itu sesat. Akhire lagi-lagi untuk proyekan. Dengan tertinggalnya umat Islam dari realitas itu menandakan bahwa umat Islam saat ini sudah tidak kreatif dalam soal kebudayaan. Itu artinya kita memang terjajah oleh pola pikir dari luar diri kita sehingga kita jadi tidak percaya diri untuk tumbuh dalam alam kebudayaan Islam yang berakar dari jatidiri kita. Makanya wis to, ga usah nggumun jika al Quran yang inspiratifnya kayak gitu, sekarang muk dienggo gelut, ramai, dan yang paling ra mutu nggo dodolan.

Akhirnya, untuk sekedar menutup aurat saja, wong Islam trima gelut, padahal urusane kuwi bisnis kain karo pakaian to. Untuk sekedar makan, wong Islam wis ra duwe kesanggupan melihat proses produksi makanan, merga wis dimanjakan label halalnya MUI. Untuk sekedar belajar agama, umat Islam saiki wis susah untuk menjadi seorang “muslim” thok ngono, trend yang dibangun justru muslim cap A, B, C. Makanya kalau ada muslim tanpa cap dianggap plin plan, padahal niatnya serius memang ini berkawan dengan semua kalangan. Dan puncak kebodohannya, umat Islam gampang menganggap hal-hal yang sebenarnya bukan bagian dari asas Islam sebagai Islam itu sendiri, di sinilah para pedagang kreatif mengambil keuntungan. Sebutlah makam para wali, website Islami, dan segala hal yang duitable akan dikerjakan demi berhala yang berwujud kertas itu.

Sudahlah, memang ngalah itu sekarang tidak baik. Kalau ngalah ga kebagian katanya. Kalau ngalah katanya ga bisa sukses nanti. Hidup mesti berkompetisi, nyingkirke yang lain. Kalau mau berkuasa, ya kalahkan yang lainnya, singkirkan, hajar, punthes sebelum tumbuh.

Juwiring, 23 Februari 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.