Jika kesetiaan kita kembalikan pada Allah, dimanifestasikan pada pemeliharaan bumi yang kita tinggali ini, kira-kira kita apa ya masih akan bertengkar macam-macam lagi ya, mulai bertengkar soal shalat, soal negara, dan soal-soal identitas yang membuat kita rawan berkubu-kubu lalu bermusuhan satu sama lain.
Coba kita hayati lagi deh, misalnya kita menyadari sebagai warga bumi sebelum mengaku sebagai warga negara Indonesia, kira-kira kita akan ikut ramai-ramai nggak pro Sunni atau pro Syiah di Timur Tengah yang sama-sama saling berperang dan membunuh atau bersimpati kepada para korban yang mati? Masihkah kita akan menutup mata pada pembantaian anak-anak di Palestina, Xinjiang, dan di berbagai belahan dunia lainnya?
Bumi telah ada jauh sebelum praktik bikin negara yang bentuknya aneh kayak sekarang terjadi. Manusia juga telah diciptakan sejak sebelum pembentukan sistem-sistem aneh ini terjadi. Jadi sebenarnya kita hidup itu seharusnya bagaimana? Terima jadi keadaan sekarang yang penuh penipuan dan penindasan ini, atau bertahan untuk kembali menjadi manusia.
Ciri khas manusia itu adalah tidak butuh pagar-pagar eksternal. Yang butuh pagar agar tidak makan rumput pihak lain adalah kambing dan sapi. Manusia sudah diberi akal, ditambah diturunkan agama, lengkap dengan keteladanan para nabi dan rasul. Kok masih butuh pagar eksternal, butuh hukum yang banyak sekali seperti sekarang. Coba dikaji, bukankah ini adalah sebuah proses penghewanan manusia. Mosok untuk tidak mencuri saja, harus dibuatkan undang-undang larangan mencuri, disediakan polisi hingga KPK.
Coba kita renungkan hal-hal di atas untuk mengaca seberapa jelas kita telah bertauhid. Karena tauhid itu ruh dalam diri, bukan sekedar label apalagi diparadekan untuk pamer kekuatan. Setiap manusia itu adalah masterpiece-nya yang sangat berharga. Makanya dalam hukum kausalitas-Nya atas manusia, Allah tidak menerapkan logika matematika. Misalnya, satu orang yang sangat ikhlas bisa menjadi sebab murka atau ridhanya Allah. Adzab tertahan bisa karena tangisan satu orang yang ikhlas. Tapi murka Allah bisa juga datang ketika satu orang rasulnya disakiti umat yang tak tahu diri. Begitulah Allah membangun kausalitas kehidupan yang tidak sesederhana hitungan matematika.
Mari berendah hati bahwa kita hari ini lebih mendekati kemusyrikan setiap saat. Tidak peduli jidat kita sehitam apa hingga shalat kita serajin apa. Pada kenyataannya, kebanyakan kita adalah orang-orang yang menuhankan uang, kedudukan, negara, madzhab, golongan dan bahkan menuhankan diri kita sendiri dengan merasa paling utama atas manusia lainnya, sehingga berhak menghujat sana sini atas nama kebenaran.
Ngawen, 8 Juli 2017