Ada sebuah konstruksi sejarah begini, jadi perang dingin yang pernah melanda negeri kita itu disebabkan karena proses adu domba. Kenapa kita mudah diadu domba? Hahaha, pikniklah ke zaman belakang, biar ngerti bahwa kejatuhan kita tak lain juga sikap sentimentil kita yang mudah gelut.

Nah, biasanya kubu timur (komunis) bisa menguasai militer untuk melakukan revolusi. Di banyak negara mereka berhasil. Tapi di Indonesia tidak, mereka kalah start dari kubu barat. Dan konon cuma bisa nyempil di angkatan udara. Angkatan darat, yang paling tangguh justru luput, dan segelintir mereka berhasil dimainkan oleh kubu barat (kapitalis).

Yang nganggur tentu saja umat Islam. Bukan benar-benar nganggur sih, wong dari zaman kluthuk sampai tahun-tahun itu mereka tetap ribut fikih tidak habis-habis. Kalau meminjam istilah demokrasi mbahmu hari ini, umat Islam tetap jadi massa mengambang. Maka oleh kubu barat umat Islam diprovokasi bahwa orang-orang PKI dkk itu atheis (padahal telitilah dulu kenyataannya) dan brutal, dan sebagian besar percaya. Karena kader-kader PKI yang kebanyakan orang bawah juga bodoh-bodoh dan sikapnya brangasan begitu didoktrin dan dicuci otaknya. Di pihak Islam, umat Islam tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki sistem independen dengan universalitas pesantrennya.

Adu domba pun dibuat habis-habisan. Orang-orang PKI dibuat bencinya menjadi-jadi pada para kiai, yang sesungguhnya lebih pantas dianut karena kapasitas berpolitik mereka jelas lebih mumpuni ketimbang pimpinan mereka. Bahkan pemikir brilian mereka, Tan Malaka disingkirkan pula. Apa sebab, ya revolusi tidak butuh mikir, yang penting gelut, begitu katanya. Apalagi Presiden Soekarno sedang galau akibat kebijakan politik luar negerinya, dan siap diganyang barat karena keberaniannya menentang panglima Dajjal. Urusan pergerakan arus bawah tak terlalu menjadi perhatiannya.

Maka mulailah penyembelihan kepada para kiai dan santri oleh para anggota PKI mualaf tadi sebagai semangat revolusi. Dan sudah barang tentu, umat Islam siaga membalas mereka tanpa ampun. Apalagi di ibukota juga ada peristiwa penting pembunuhan petinggi militer dan pelakunya terindikasi adalah PKI. Maka lengkap sudah pesta penyembelihan dan pembantaian manusia secara bergantian itu. Banyak keanehan terjadi, banyak peristiwa tak masuk akal terjadi, dan akhirnya rezim pun berganti.

Dan kita lihat betapa menderitanya umat Islam ditipu dan diadu domba terus menerus. Dijadikan sajian makanan kebiadaban orang-orang PKI, diperalat untuk menumpas PKI di lapisan bawah, dan pada puncaknya dikerdilkan oleh kekuatan militer dari rezim baru yang berkuasa. Dan perwira militer di rezim lama, yang dulu lebih banyak berirama dengan umat Islam tersingkir dan turut menjadi pesakitan bersama puluhan tokoh bangsa. Demikianlah permainan catur yang sangat menarik, tapi diberitakan tidak semestinya.

Sekali lagi ini hanya salah satu alternatif dari konstruksi sejarah 1965 yang hari ini kembali diungkit-ungkit lagi. Bagi umat Islam khususnya, lebih baik kita kerjakan hal lain yang menjadi persoalan mendasar umat, ketimbang kita kembali jadi mainan kubu barat maupun timur yang lagi gandrung main catur dan ingin menjadikan kita bidak caturnya. Percayalah, bidak catur itu sekeren apa pun, tetap tidak bebas bergerak.

Pemerintahan kita sudah mirip Gubermen Hindia Belanda, organisasi-organisasi politik dan kepemudaan kita juga memasuki titik kejenuhan, kita telah memasuki zaman liberal total yang krannya terbuka pasca kegagalan reformasi 1998. Kehidupan rakyat makin tidak jelas, terutama menyangkut martabat dan nilai-nilai kemuliaannya. Kita mulai melihat potret masyarakat yang tidak punya harga diri. Pelacuran bukan soal wanita yang butuh beli susu untuk anaknya yang ditinggal minggat oleh suaminya, pelacuran intelektual hingga pelacuran nilai keagamaan.

Mbok sudah, jangan ditambahi rekasa dengan bikin keributan isu-isu lucu, apalagi isu komunisme. Masyarakat bawah sudah begitu nelangsa dan bosan dengan mulut-mulut manis para politisi yang rutin membuat janji kosong setiap 5 tahun. Membayangkan partai komunis lahir di era liberal kaffah kok rasanya geli gitu. Mungkin lebih tepatnya bukan partai komunis, tapi kantor cabang Tiongkok, kantor cabang Rusia, untuk mewakili kepentingan mereka. Sebagaimana kita telah punya kantor cabang negara-negara Timur Tengah dan tentu saja Sekutu untuk menjajah kita secara halus. Apa China dan Rusia masih tetap komunis? Wkwkwkwk.

Ngawen, 6 Juni 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.