Dari akumulasi diskusi dengan aneka rupa aktivis, khususnya aktivis Islam di kampus, disimpulkan bahwa sebagian mereka yang tumbuh pesat di kampus justru banyak yang klimpungan di keluarga sendiri.
Efeknya adalah ketika menjalani pascakampus, biasanya para aktivis yang keren di kampus tapi tak berdaya di rumah ini mengalami guncangan hidup. Yang putra-putra, mulai mikir serius soal gaya hidup ditarget ortu untuk jadi “priyayi” baru atau penerus kepriyayian ortunya. Yang putri-putri lebih galau lagi karena dibayang-bayangi akan dijodohkan dengan orang yang ditakutkan bukan kriterianya.
Itulah mengapa, sehebat apa pun berjuang untuk perubahan besar di kampus, keluarga tetaplah prioritas utama. Tidak ada yang lebih indah dalam proses perbaikan diri selain melakukan sinergi terhadap ritme keluarga. Makanya kalau saya ditanya prestasi dakwah terbaik saya, ya saya sekarang bisa semakin paham Islam dan keluarga saya juga semakin enjoy dengan Islam. Itu saja.
Dan konteks ini pula yang menurut saya jadi salah satu cara untuk mengecek apakah aliran-aliran dakwah itu sehat atau tidak. Dalam shirah dijelaskan bahwa sehebat-hebatnya pertentangan dari keluarga, para sahabat tidak pernah menjadi orang yang durhaka kepada orang tua mereka. Mereka tidak akan menghardik orang tuanya meskipun masih berada dalam kekafiran. Bahkan putra Abdullah bin Ubay bin Salul, tokoh munafik Madinah, begitu sayangnya pada sang ayah memohon kepada Rasulullah agar jika memang harus dihukum bunuh, jangan sampai orang lain membunuhnya, tetapi biarlah dia sendiri yang melakukannya.
Jadi kalau misalnya ada gerakan dakwah kok bikin ortunya senewen karena dihina-hina sebagai golongan sesat, maka pasti tidak beres. Ada gerakan dakwah kok tidak menempatkan orang tua sebagai bagian penting dari kesuksesan dakwah, pasti gerakan itu tidak beres. Apapun manhaj dakwahnya, orang tua adalah bagian penting dalam proses dakwah, baik sebagai pendukung maupun ladang dakwah utamanya.
Jadi dakwah di muka publik itu hendaknya pantulan dari dakwah di dalam keluarga. Jangan sampai menjadi bumerang sendiri ketika ingin selalu tampil keren di muka publik, ternyata di keluarga sama sekali tidak berani melakukan apa-apa. Lalu bagaimana rasanya jadi pembicara keren di depan umum, jika di hadapan orang tua dan saudara sendiri saja ternyata diam seribu bahasa.
Juwiring, 30 Maret 2016