Matahari dan bulan adalah perlambang dari kekuatan besar. Di masa lalu, sebelum orang menemukan Allah-nya, mereka menganggap matahari sebagai tuhan, dan bulan sebagai asistennya tuhan. Maka jika ada peristiwa gerhana baik saat gerhana bulan maupun gerhana matahari, orang-orang melakukan kontemplasi. Mereka menyadari ada peristiwa besar di alam, ada perubahan tak terlihat yang sedang bekerja.

Ketika Rasulullah diutus dengan membawa risalah Islam, beliau pun diperintahkan oleh Allah, ketika terjadi gerhana umat Islam supaya shalat berjamaah. Ada tatacara yang sedikit berbeda dari umumnya shalat yang diselenggarakan oleh umat Islam. Silahkan buka kitab fikih pelaksanaan shalat gerhana, pasti ada yang berbeda dari umumnya shalat-shalat sunnah yang biasa dilakukan umat Islam.

Ada yang kemudian membuat penafsiran bahwa matahari dan bulan menjadi metafor tentang Allah dan utusan-Nya. Matahari menjadi metafor ke-Mahabesar-an Allah, sedangkan bulan adalah metafor dari para utusan-Nya yang bertugas memantulkan cahaya-Nya dengan sempurna. Utusan-Nya kini diwarisi oleh para ulama. Maka peristiwa gerhana adalah metafor dari perilaku ulama yang melakukan korupsi cahaya.

Gerhana bulan adalah metafor dari tidak terjadinya pantulan cahaya karena dominannya kegelapan di tengah-tengah umat. Sementara gerhana matahari adalah metafor dari perilaku ulama yang justru menjadi penghalang cahaya-Nya tersebab nafsu dan aneka kepentingan yang menyelubungi dirinya sehingga membodohi umat dengan aneka rekayasa kepentinganya.

Pada intinya gerhana adalah peristiwa yang tidak biasa. Jika Allah memerintahkan kita (lewat Rasul-Nya) untuk beribadah di saat terjadinya peristiwa itu, tentu kita perlu menyelidiki ada apa di balik itu semua. Terlebih lagi kita diminta shalat secara berjamaah, seperti penyelenggaraan shalat-shalat di hari besar Islam atau di momen-momen penting seperti meminta hujan dan suasana perang. Maka shalat gerhana bukanlah sekedar shalat biasa. Ada rahasia di sebaliknya.

Jika nanti kabarnya akan terjadi gerhana matahari, kok malah pemerintah pusat nyurati pemerintah daerah, khususnya di dinas Pariwisata agar memaksimalkan pendapatan daerah dari wisata nonton gerhana, hahaha, njuk kudu piye. Oke lah, shalat gerhana kan hukumnya sunnah, dilakukan bagus, ditinggalkan tidak apa-apa. Oke, saya juga tidak akan berdebat soal itu karena saya juga kadang-kadang ikut shalat (pas nemu masjid yang menyelenggarakan), dan lebih banyaknya tidak. Hanya, saat gerhana terjadi, saya tidak tertarik untuk membicarakan bahwa itu pemandangan yang menarik untuk ditonton dalam rangka hepi-hepi, apalagi dikomoditaskan sebagai obyek wisata.

Tapi apa daya, ini zaman baru di mana Allah (diharuskan) berwujud materi. Allah diidentikkan dengan datangnya materi. Allah diminta memenuhi hasrat materi melebihi kepatutan dan kebutuhan kita sendiri. Allah disuruh-suruh begini-begitu. Allah disuruh manut dengan aturan-aturan yang kita ciptakan sendiri. Maka jangankan gerhana, Allah saja digitukan. Luar biasa manusia-manusia modern saat ini. Ilmunya sangat tinggi.

Juwiring, 1 Maret 2016

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.