Ustadz Salim A. Fillah pernah menyampaikan bagaimana Allah mengajarkan adab yang tinggi kepada umat Islam lewat al-Quran. Di al Quran, kalau pelaku keburukannya masih memiliki rasa malu, maka Allah tidak sebut namanya secara langsung. Misalnya Zulaikha hanya disebut sebagai Imra’atul Aziz. Berbeda dengan Abu Lahab yang memang terang-terangan menentang Rasulullah, maka Allah sebut secara tegas di surat al Masad (al Lahab).
Di era ghibah luar biasa ini, ternyata hal semacam itu disepelekan. Tidak hanya di WA dan berbagai sarana anu-anu begituan. Bahkan di pengajian yang ustadznya berpenampilan “sholeh”, ghibah-ghibah terhadap personal semacam ini menjadi makanan manis. Dan ditambah lagi berita-berita politik yang akan sangat menyita waktu-waktu kita untuk ngrumpi tentang tokoh A, B, C dll. Kalau yang diambil adalah ibrah dari kepemimpinannya (baik sisi positif maupun negatifnya) sih bermanfaat. Lha kalau yang dibahas ternyata aib-aib yang diketahuinya, kan menjijikkan.
Tidak banyak tokoh yang bisa mengungkap sisi ibrah dari seorang tokoh lain sehingga diterima oleh pendengar lain to the point pada ilmunya, tapi tetap ada. Beberapa guru saya termasuk orang yang bisa menyampaikan sisi positif dan negatif seseorang tanpa mengungkap aib-aib yang tidak diperlukan. Saya pun langsung menangkap maksud terpenting dari penyampaian itu. Maka saya juga tidak apriori dengan pembicaraan mengenai orang lain, tapi akan segera stop jika yang dibahas adalah hal-hal menjijikkan soal aib-aibnya. Lebih banyak, pembicaraan pada seseorang itu berdasarkan suka atau tidak sukanya, bukan pada apa yang seharusnya dibahas.
Islam itu nilai, ia kata kerja. Jika umat Islam sekarang memaksakan Islam hanya berhenti di titik simbol dan identitas, maka adab-adab Islam yang dahulu diajarkan akan hilang. Padahal Rasulullah diutus untuk menyempurnakan akhlak manusia. Soal mereka masuk Islam (bersyahadat) itu tergantung cahaya hidayah Allah. Tetapi membangun akhlak yang baik, itu bisa dilakukan sejak sekarang.
Juwiring, 1 Maret 2016