Pakaian Islami ki piye to. Mbok sudah kita mulai dari diri kita berpakaian yang menutup aurat dan tidak ketat (sak karepmu modele). Yang jualan pakaian juga nyetoknya yang gitu, jangan yang mini-mini (kecuali pakaian dalam, hahaha). Udah gitu aja, yang namanya pakaian ki ya buat nutup aurat. Pakaian kok duwe agama. Terus saiki diembel-embeli macam-macam. Apa ijitihad ahli mode harus dihentikan? Mengapa Anda yang muslim dan berbakat bikin rancangan baju tidak berusaha menghadirkan desain-desain mode pakaian yang menutup aurat, tanpa harus bawa-bawa nama Islam?
Dulu saya menganggap itu sebuah proses Islamisasi. Tapi semakin ke sini ternyata merembet ke mana-mana dan justru menjadikan sekularisasi pemikiran di berbagai bidang. Seolah-olah Islam itu sebatas brand fisik yang kudu tampak dan setiap orang cuma ngukurnya dari situ. Kalau nggak sesuai standar mainstream dianggap ke-Islam-an seseorang kurang. Apa-apaan ini. Aku tau krungu lho, dirasani jare dianggap kurang Islami gara-gara wis ora gelem akh-ukh-ane-afwan. Bwahaha. Akibatnya lahirlah idiom-idiom baru yang seolah-olah memakai Islam, tetapi tidak setiap pelakunya jujur untuk memperjuangkan Islam. Lebih banyak yang sebenarnya cuma berbisnis dengan bawa-bawa idiom berbahasa Arab, tapi kadung diyakini masyarakat awam sebagai sesuatu yang Islam.
Yang mau pakai label-label Islami dan sejenisnya, luruskan niatnya. Nek dagang yo dagang wae. Dakwah itu lebih tinggi kedudukannya dan lebih luas cakupannya dari pada dagang. Jadi jangan dagang nyambi dakwah. Karena setiap upaya hidup yang baik, ya itulah dakwah kita. Mosok saiki muncul istilah, ustadz ngisi pengajian disebut sedang berdakwah. Piye sih? Lucu tenan. Kira-kira akan ada gerakan dari BEM atau LDK dari fakultas sastra dan bahasa tidak ya yang mengkampanyekan gerakan berbahasa yang mentes dan mathuk?
Juwiring, 7 Januari 2016