Seringkali wacana liberalisme, sekularisme, dan pluralisme berhenti di kajian akademik. Para pegiat akademik dan literasi saja biasanya yang menikmati hal ini. Tapi bagaimana dengan orang awam yang uswatun hasanahnya adalah al-televisiyah wa al-gadgetiyah?
Jika kita berangkat dengan pengertian bahwa liberal itu adalah tentang kebebasan, maka negeri ini adalah negeri yang ultra-liberal. Saya kok cenderung percaya bahwa negeri ini tingkat liberalnya sebenarnya melebihi Amerika Serikat yang konon jadi kiblatnya kaum liberal, jika berangkat dengan pengertian liberal yang saya maksud.
Di sini, pemerintah bisa mengizinkan berdirinya organisasi yang berniat menghancurkan ideologi negara (ampuh ta). Di sini, masyarakat bisa menerima berbagai aliran ideologi dan mengaduknya menjadi tidak karuan bentuknya. Di sini, agama bisa jadi barang mainan yang jika ditilik dari sisi etika, tentu lebih biadab ketimbang negara yang tidak mengakui agama kan. Di sini, kader-kader kelompok sparatis hidup bebas berkeliaran dan membangun basis-basis di setiap wilayah. Contoh, di Papua kader-kader OPM bisa menjadi guru di sekolah. Hebat kan.
Dan perlu diketahui, sekarang secara de jure ada dua negara yang sama-sama mendeklarasikan NKRI dengan bendera dan ideologi yang sama, sang Merah Putih dan Pancasila. Negara yang baru ini melayangkan gugatan atas kelalaian NKRI versi pemerintah karena tidak memberikan rasa keadilan seperti yang diamanatkan dalam konstitusi, sehingga NKRI versi pemerintah yang presidennya adalah Pak J ini batal dengan sendirinya demi hukum. Negara baru ini juga menantang BI untuk transparan dalam membuat kebijakan keuangan dan menyediakan alat pembayaran yang bebas dari beban hutang. Dimana negara ini beribukota? Maaf saya merasa tidak perlu menyebutkan. Tetapi ini tidak main-main. Meskipun kelihatannya sekarang belum, siapa tahu nanti panglima TNI dan jajarannya swicth mendukung NKRI baru yang mendeklarasikan diri beberapa bulan lalu.
Kemudian soal sekuler, jika ia berangkat dari keterpecahan pikiran sehingga terjadi dikotomisasi antara agama dan negara. Pada tataran praktek yang sederhana, pembelajaran agama Islam di sekolah itu kini tidak lagi seperti harapannya dulu. Adanya pelajaran agama di sekolah justru membuat siswa sekarang sekuler. Karena agama itu adanya di mapel PAI. Di matematika, agama tidak ada, sehingga kalau ujian boleh nyontek. Bahkan konon di ujian PAI pun juga bisa nyontek. Lalu di mana agamanya? Lahirnya idiom-idiom yang belakangnya Islami, Syar’i, dan embel-embel lain yang menggunakan bahasa Arab justru menambah daftar pensekuleran pikiran masyarakat Islam di negeri ini.
Soal pluralisme ini juga sebenarnya konyol. Ajaran pluralisme diberlakukan di Eropa karena orang Eropa itu untuk bisa berdamai antar bangsa susahnya minta ampun. Makanya dibuatlah ideologi itu. Nah di sini, bukane kita sejak dulu hidup dalam nuansa plural dalam ciri budaya guyup. Kok malah disuruh-suruh jadi penganut pluralisme. Piye sih.
Tapi efek dari negeri yang ultra-liberal macam Indonesia ini, saya benar-benar merasakan kenyamanan yang luar biasa. Ini negeri yang orang-orangnya saling sakgeleme dewe. Tidak ada koruptor yang lebih nganeh-nganehi selain di sini, yang bisa tersenyum sambil baca bismillah lalu nyolong, padahal jelas-jelas angka kemiskinannya masih tinggi. Silahkan diidentifikasi lagi keanehan-keanehan yang sangat luar biasa di negeri ini. Misalnya ada banyak pegawai negeri yang bekerja minimalis, pendapatannya maksimal. Sebaliknya ada petani dan nelayan yang kerja serius sampe meh modar, malah defisit terus.
Seliberal-liberalnya negara liberal tidak akan bisa mengalahkan tingkat liberalitas Indonesia. Tapi sereligius-religiusnya negara yang katanya religius, tidak akan mampu mengalahkan religiusitas masyarakat negeri ini yang mampu bertahan tidak bergejolak seperti di negara-negara Timur Tengah, padahal nek bicara pemerintahan hingga kebudayaan, kondisi kita wis ajur-ajuran pol.
Negara ultra-liberal ini harus kita jaga biar tetap liberal sekaligus religius seperti ini. Ahahaha, padahal pengertian liberal tapi religius mah hanya akal-akalan saya. Kalau Anda mau mendebat dengan teori liberal dan religius versi Anda, saya ketawain. Wong saya berpendapat dengan cara saya sendiri.
Alhamdulillah, saya lahir di Indonesia.
Juwiring, 7 Januari 2016