Sisi kesalahan yang patut menjadi keprihatinan kita bersama adalah kebiasaan orang-orang sekarang yang menyerang pihak yang berseberangan pendapat dengan membongkar aib secara personal, bukan secara argumentatif terkait permasalahan yang ada. Saya belajar dari kebiasaan buruk saya sendiri beberapa tahun silam ketika tidak suka dan berseberangan pendapat dengan orang lain.

Penghinaan pada pengurus MUI yang dilontarkan orang-orang liberal itu sangat melanggar adab dan sangat melecehkan kepribadian para ulama, meskipun saya pribadi tidak bisa menerima posisi MUI saat ini sebagai majelis ulama beneran karena cuma menjadi semacam lembaga pemberi fatwa sepenggal-sepenggal seperti milik Arab Saudi. Majelis ulama seharusnya tidak seperti itu, karena dia harus independen dari berbagai gelontoran dana pemerintah, apalagi dari bisnis label halal.

Produk kajiannya pun seharusnya tidak sekedar bicara ini halal itu haram, tapi itu lho praktik negara semacam ini ngawur apa tidak, sorot dulu, sebar hasil kajiannya ke masyarakat agar kita paham betul kita itu punya negara beneran atau cuma dagelan. Praktik demokrasi ini sudah sesuai keadilan belum, kaji dong, jangan tiba-tiba menyodori fatwa golput haram. Majelis ulama itu produknya adalah kajian keilmuan yang komprehensif, yang ditanda tangani ribuan ulama agar legitimate. Karena mendapatkan persetujuan banyak ulama, maka masyarakat itu memahami sesuatu dengan terang dan bisa bertindak mandiri secara terukur berdasarkan pemahaman ilmu yang mereka kuasai.

Sehingga suatu saat rakyat itu menjadi berani untuk melakukan tindakan-tindakan rasional untuk meluruskan saat pemerintah bertindak tidak adil. Rakyat tidak segan-segan mendemo gedung DPR/ DPRD ketika aspirasi dapil mereka yang sesuai nurani keadilan tidak diperjuangkan, bila perlu menelanjangi wakilnya dan mengganti dengan wakil yang baru jika wakilnya cuma kebanyakan tidur. Rakyat menjadi berani untuk memprotes dan melawan tindakan birokrat yang rusuh dan suka melakukan penyunatan anggaran. Rakyat berani karena mereka memahami konstruksi negara ini sebagaimana yang diamanatkan oleh dustur (perjanjian bernegara) Pancasila dan UUD 1945.

Kita mengalami pembodohan cukup lama terutama di fase Orde Baru sehingga tidak memahami betul caranya bernegara. Apalagi MUI dahulu juga merupakan bentukan orde baru. Artinya lembaga itu saat ini ditantang untuk keluar dari zona pemerintahan dan tegak berdiri independen sebagai majelisnya para ulama yang tidak punya urusan apa pun dengan pemerintah. MUI cuma punya urusan satu hal paling pokok, mendidik rakyat khususnya umat Islam agar mengerti hak dan kewajiban mereka sebagai umat Islam di lingkungan negara bernama Republik Indonesia ini.

Maka jika peristiwa lontaran demi lontaran penghinaan terhadap MUI membuat kita masuk di antara dua kubu, pertama kubu pro MUI buta, pokoknya MUI pasti benar atau yang kedua kubu pro penghina yang selalu melihat MUI salah dan tidak bermutu, maka artinya itu adalah jebakan pecah belah. Tidak akan ada penyelesaiannya, MUI tidak semakin berkembang menjalankan tugasnya, penghinaan terhadap lembaga itu malah akan bertambah karena memang sengaja didesain begitu untuk menaikkan tensi.

Sebagai bagian dari umat Islam, ada baiknya kita mulai mendorong MUI, terutama yang di daerah untuk menggalakkan tradisi ilmu, bukan kebiasaaan berfatwa. Karena umat Islam itu butuh dicerdaskan dengan kaidah ushul fikih, bukan dengan produk fikih. Jika umat Islam cerdas memahami ushul fikih, insya Allah mereka tidak akan bertengkar seperti sekarang. Masyarakat yang memahami kaidah-kaidah ushul fikih untuk kebutuhan hidup mereka, tidak akan tertarik dengan pendapat orang-orang liberal yang memang sejak dari asalnya tidak bermutu dan sering tidak rasional.

Alangkah indahnya jika produk-produk MUI ke depan adalah buku-buku analisis dan kajian di berbagai bidang yang sangat dibutuhkan umat Islam. Terutama pencerahan cara bernegara, menyelenggarakan ekonomi, dan membangun kebudayaan Islam. Ini harapan saya, ketimbang saya ikut jadi pro MUI atau anti MUI. MUI bukan majelisnya malaikat, itu organisasi yang dulu dibentuk pemerintah Orde Baru untuk menjadi alat pelegitimasi kebijakan pemerintah. Hari ini, MUI sudah tidak disetir oleh pemerintah, tetapi para pengurusnya sangat mungkin bisa tergelincir oleh godaan materi. Jika pemerintah dan lembaga-lembaga negara, bahkan lembaga keilmuan resmi berupa perguruan tinggi sudah takluk pada kekuatan modal, kita berharap semoga para kiai dan ulama di MUI tidak menjadi korban selanjutnya. Kalau ternyata MUI pun takluk pada kekuatan modal, maka ….. JIHAD (awas jika langsung kamu tafsirkan sebagai perang, tak gajul).

Juwiring, 19 Oktober 2016

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.