Saat fatwa golput haram di pemilu diumumkan maka saat itulah pintu penasaran saya terbuka. Waktu itu usia saya baru 19 tahun dan saya cukup keri mendengar pernyataan haramnya golput. Tapi kala itu saya masih belum menemukan pintu-pintunya untuk memahami. Intinya, saya rada nganu. Hak-hakku dewe ameh milih po ora kok diatur-atur ngono.
Akhirnya ketika benar-benar bergabung dalam organisasi pergerakan mahasiswa, hal semacam itu sangat wajar untuk dikeluarkan. Tanpa harus memprasangkai yang macam-macam, hitung-hitungan rasional sesekali dipaske dengan dalil memang sangat mungkin untuk membuat para cendekia agama mengeluarkan fatwa yang aneh semacam itu. Saya pun memahami dan saya hingga pemilu terakhir bukan golputer, tapi juga tidak pernah protes pada kaum golput.
Fenomena fatwa golput itu haram adalah cermin dari keanehan metode berpikir kita secara jamak. Akhirnya saya mendapatkan pisau bedahnya di salah satu forum. Siapa lagi kalau bukan Simbah pengasuhnya. Sekali saja penjelasan beliau, lalu saya mencoba membuka shirah dan menelaah sejarah ketika Islam menjadi mainstream dunia, bukan karena khilafahnya, tapi karena peran ulamanya dan umatnya yang masih mau mendengarkan ulama. Kala itu, sekejam-kejamnya penguasa (atau khalifah konon namanya, padahal setahuku khalifah sejati ya cuma sampai Ali), tidak jadi soal karena pemimpin umat Islam di seantero dunia adalah para ulama-ulama zuhud yang berintegritas.
Nah, keberadaan ulama-ulama besar itulah yang selalu mengontrol status negara dan kelayakan para khalifah apakah mereka pantas diikuti atau tidak. Setidaknya, eksistensi sebuah negara dan pemerintah itu tidak bisa sakenak udele dewe dan mau tidak mau mereka harus membuat perhitungan politik dengan ulama baik dengan menyuap atau paling kejam melakukan intimidasi dengan resiko kualat dan akhirnya tumbang diganti rezim yang lebih baik sebagaimana takdir siklus kekuasaaan yang Allah tetapkan.
Maka fatwa ulama saat itu kualitasnya memang jauh berbeda dengan kaum hari ini yang kita sebut ulama. Mereka memfatwai sesuatu dengan pertimbangan kosmologis yang benar melalui kajian yang holistik. Fatwa atas hal ibadah mahdhah sudah jelas dan tegas di era para mujtahid mutlak (yang hari ini termasyhur tinggal 4 madzhab karena para generasi penjaganya masih terjaga hingga hari ini, sementara para imam madzhab yang lain sudah putus-putus karena proses penjagaan generasi tak sebaik 4 madzhab utama ini), jadi nek saiki bab ibadah isih do padu wae mesthi rada nganu, apa meneh sekelas orang awam kayak saya kok isih eyel-eyelan sing paling bener endi, wo terlalu tenan.
Sedangkan kalau perihal muamalah, maka fatwa akan terus lahir di setiap zaman. Termasuk lahirnya berbagai bentuk-bentuk baru sistem sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan, semuanya dikaji berdasarkan pertimbangan Quran dan kehidupan para shalihin di awal. Kemudian dibuatkan panduan kepada umat bagaimana cara berpikir dan menghadapi tantangan hari ini. Maka sesungguhnya jika hari ini, kok kebiasaan umat menjadi suka cari hal-hal yang instan pada persoalan muamalah itu menandakan umat sekarang mulai disibukkan oleh perkara dunia secara berlebihan dan malas belajar dan berpikir.
Nah cara berpikir yang instan, terpenggal-penggal, dan terpecah-pecah inilah yang memungkinkan sekulerisme masuk dan mulai subur di tengah umat Islam. Maka fatwa-fatwa yang muncul di tengah umat saat ini ibarat fatwa hilir tanpa hulu. Mengapa, coba kita pikirkan saja soal fatwa haramnya golput. Golput adalah kemungkinan yang timbul akibat adanya pemilu. Jika golput haram, harus jelas dulu dong hukum pemilu. Sudah adakah fatwa tentang pemilu? Kita lanjutkan, pemilu adalah konsekuensi dari demokrasi. Sudah adakah fatwa tentang demokrasi? Demokrasi adalah bagian dari sebuah mekanisme penyelenggaraan negara. Sudah adakah fatwa tentang NKRI? Apalagi NKRI pasca-reformasi saat ini yang agak-agak nganu karena berani melanggar Pancasila dan UUD 45.
Demikian pula masalah pekerjaan, boleh bekerja ini itu tidak? Sementara pekerjaan adalah bagian kecil dari mekanisme ekonomi. Tanpa harus menjadi ulama, orang awam macam saya pun tahu ada masalah yang tidak beres dengan sistem ekonomi kita. Petani yang produktivitasnya sangat tinggi dan jam kerjanya luar biasa, untuk mendapatkan alat pembayaran (baca: uang) sulitnya berlipat-lipat dibandingkan anggota DPR yang (maaf) kadang hobi tidur dan kadang saat kunker juga masih nyambi bisnis macam-macam. Ini sangat jelas dan cetha potret ketidakadilan yang jelas. Jadi sistem negara dan ekonomi yang semacam ini kalau tidak difatwai dulu sekaligus umatnya dicerdaskan dahulu ya bagaimana mungkin akan menyelesaikan fenomena lahirnya orang yang bekerja di bank, di bar, di mall, dan di tempat-tempat kerja yang semua dilakukan demi mendapatkan uang. Dunia perbankan memang riba, tapi bank lahir dari sistem ekonomi yang “nganu” kan.
Mendapat gelar sebagai ulama itu bukan perkara ringan loh. Karena apa ada yang berani mengulangi masa-masa seperti Imam Ahmad bin Hanbal. Jika dahulu beliau mati-matian membela akidah karena pernyataan Quran itu makhluk, kira-kira ulama sekarang ada yang siap untuk mengatakan hal yang lebih beresiko dan mengerikan, yakni ketidakadilan. Saat itu sistem politik dan sosialnya tidak ada masalah, dan tidak sekacau hari ini. Nah sekarang bukan hanya soal akidah umat yang makin ra cetha, karena akidah kita semua rata-rata juga sama kok, wis ra sah ngelak, akidahe dewe ki akeh-akehe ijik duit, ngaku-ngaku wae sok syahadat, asline DUIT. Jika ada ulama yang berani memfatwai permasalahan ketidakadilan ini secara gamblang dan terang-terangan dihadapan penguasa, nggak perlu diciduk militer, cukuplah media menghabisinya secara halus dengan fitnah-fitnah yang sangat keji. Bahkan jika beliau punya akun di medsos pasti akan dibully ramai2.
Jadi, jika hari ini kita itu suka bingung, lihat sistem kok banyak yang anomali, bersyukurlah karena kita masih diberi kesehatan oleh Allah. Tapi nek ndelok kahanan kok kayaken ora eneng masalah blas, nah ……. silahkan dilanjutkan sendiri. Terus piye? Aku yo mbuh. Jangan tanya juga soal BPJS. Saya cuma berdoa semoga MUI benar-benar bisa menjadi MUI.
Surakarta, 30 Juli 2015