Ayat “wahai orang-orang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka” itu sesuatu banget. Eh bingits. Cuma mau bilang gitu sih soal ayat itu.
Anu, begini, selama ini kan kita selalu ngomongin kedaulatan, kemandirian, dan yang anu-anu begitu. Lha elemen kedaulatan itu letaknya di mana sih? Karena kalau mau bilang NKRI berdaulat, aku jadi bengong. Berdaulatnya di mana? Wilayah? Lha itu kok Google maps bisa tau ada gang buntu sebelah rumah. Ekonomi? Lha itu kok BI nyetak duit kena beban utang. Kebudayaan? Lha sekarang janjane kita ini jadi bangsa yang percaya diri atau niru sana sini.
Menurutku, ini kayake karena kita salah prioritas. Pusat kedaulatan secara sosial itu seharusnya ada di keluarga, bukan di negara. Dan syarat kedaulatan itu terjadi adalah individu yang berpikir merdeka. Merdeka itu (menurutku), ga takut siapa-siapa kecuali sama Allah, ga berbuat untuk siapa-siapa kecuali untuk Allah. Konsep itu saya dasarkan pada ayat yang sesuatu bingits tadi.
Mengapa? Karena kalau belajar dari kehidupan Rasulullah, gagasan membentuk negara itu bukanlah hal utama dari dakwah beliau. Bahkan selama beliau di Madinah, ga ada tuh sebenarnya pemerintahan model khilafah yang sering digaung-gaungkan. Rasulullah berperan sebagai imam dan tokoh spiritual yang dipatuhi oleh masyarakat Madinah. Adapun pemerintahan secara politik dan berbagai perjanjian secara de jure dan de facto tetap dijalankan para kepala kabilah berdasarkan Piagam Madinah.
Kemudian, masih berkait ayat itu juga, para sahabat (dan tentu saja dengan kebiasaan masyarakat Arab) sangat memberi prioritas terhadap keluarga mereka, baik yang sudah bersyahadat maupun belum. Hingga hari ini saya masih mencoba membuat imajinasi drama bagaimana suasana kedengkian para juragan di Mekah kala itu akibat dakwah Rasulullah yang bikin pos-pos ekonomi mereka (ya iyalah jualan aneka produk pelengkap pemujaan berhala contohnya) tergoncang.
Belum lagi akhlak Rasulullah yang aduhai memesonanya itu bikin pengaruh sosial politik para juragan itu juga mulai pudar. Pokoknya suasana itu pasti anu banget. Tapi keanuan itu agak rumit saya gambarkan karena mereka yang anu-anu itu tetap percaya kalau soal urusan titip barang dan uang ke Kanjeng Nabi. Ini kan aneh tapi nyata. Saya berharap bisa bermimpi (dalam tidur atau entah dengan cara lain) dapat nonton video shirah asli buatan Allah SWT. Penasaran dengan yang kisah itu tadi.
Oke kembali ke tema, jadi dakwah Rasulullah itu meletakkan prinsip bahwa manusia itu merdeka. Dan dengan kemerdekaannya dia punya kewajiban utama menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Ini prioritas utama. Dalam bahasa sekarang kan bisa ditafsirkan gini, kalau urusan diri dan keluarga udah oke, insya Allah masyarakat dan negara itu menjadi terselamatkan secara otomatis. Karena kalau setiap keluarga berdaulat mengikuti apa yang Allah gariskan, ga ada masalah sosial. Okelah, misal ada satu dua keluarga bermasalah, ia akan bisa diselamatkan oleh puluhan keluarga lain yang bener.
Tapi anehnya, logika bernegara kita sekarang itu nganu sekali. Misal begini, soal pendidikan. Saya tidak habis pikir bagaimana bisa orang tua lebih percaya sekolahan dari pada dirinya sendiri untuk mendidik anaknya. Saking ketergantungannya, sekolah mulai menjadi wahana baru, penitipan anak. Hal ini juga berlaku pada TPA. Belum lagi negara sekarang jan nggagahi, persis penjajah yang selalu mengebiri otak generasi bangsa ini dengan duit dan iming-iming kursi. Sejauh ini saya kok masih belum nemu ya rintisan dakwah yang targetnya memutus mata rantai konyol ini. Misalnya membentuk sekolah dan TPA yang visi masa depannya adalah menghapuskan sekolah dan TPA. Jadi setiap kali meeting, diteriakkan “siap bubarkan sekolah dan TPA, karena orang tua sudah siap jadi guru”.
Apalagi? Soal kebutuhan pangan. Nah ini juga anu. Fenomena urbanisasi besar-besaran di kota menurutku anu. Begini anunya, jika dalam proses urbanisasi itu ada kejujuran, maka tak masalah untuk soal makanan. Tapi faktanya, urbanisasi itu membuat banyak manusia tidak lagi bisa melakukan identifikasi makanannya. Bagaimana coba kita memastikan makanan itu benar-benar halal dan thoyyib? Label halal MUI. Mbahmu! Ini soal kejujuran. Bisakah kita berharap pada kejujuran orang sekarang. Jangan berlindung dengan ketidaktahuan, dan menyalahkan pada yang menipu kita. Yang namanya makanan tak halal dan tak thoyyib pengaruhnya tubuh kita yang makan. Soal dia mah udah langsung sama Allah. Lha soal kita?
Nah, makanya jangan nyepelekke wong desa yang makan dari padi/jagung yang ditanamnya sendiri, pitik dan kambing yang dibelehnya sendiri, ikan yang dipancingnya sendiri dari kalenan umum atau lele yang dipanen dari kolamnya sendiri. Itu jelas halal. Apalagi dimasak dengan bumbu-bumbu yang juga diproduksi dari kebun sendiri. Proses ini memang berat to dijalani, tapi yo cen ngene iki menurutku tafsir yang luwih pas dari perintah Allah “makanlah makanan yang halal dan thoyyib”, bukan beli yang ada label halalnya MUI. Apa kita bisa menjamin makanan-makanan kita seperti ini? Aku tak njawab, aku rung iso. Mung kala-kala iso ideal ngono. Berarti kesimpulannya, makanan kita sejauh ini juga banyak yang anu. Makanya tidak usah heran jika kita juga nganu-nganu.
Akhirnya, pembahasan tentang kedaulatan dalam wacana publik saat ini lebih banyak omong kosongnya (menurutku). Karena kita sendiri ternyata pikirannya masih banyak dijajah opini dan infomasi hoax, masih takut macam-macam yang selain Allah, masih mudah baper untuk perkara-perkara yang tidak lillahitaala.
Jadi anu-anu kita itu sangat banyak. Jika kita mau balik ke diri kita, baru melihat ke luar diri niscaya kita ga akan terlalu anu-anu lagi. Karena anunya kita sendiri banyak banget. Iya anu. Kita anu sekali. Karena masih anu-anu begini, maka kita butuh belajar dan praktek berulang lagi sampai tidak anu. Semoga anu kita berganti dengan anu yang lebih baik.
Note : Anu adalah kata yang maknanya sesuai imajinasi Anda masing-masing.
Juwiring, 19 Desember 2015