Perdebatan kata Insya Allah atau Inshallah yang pernah mengemuka sempat membuat kepala saya loading cukup serius. Memperhatikan pembahasan dari para alim yang juga budayawan, di antaranya Gus Mus dan Mbah Nun, perdebatan kata itu merupakan salah satu kekonyolan orang sekarang yang cuma cari gara-gara.
Huruf kan sebenarnya hanya simbol untuk menuliskan bunyi tertentu. Jika ia berkaitan dengan bahasa, maka aturan penulisan huruf mengikuti kesepakatan pengguna bahasanya. Lagi pula jika ditarik ke belakang, bukankah huruf latin ini baru dipakai bangsa ini setelah Belanda memaksakan sekolah-sekolah modern mereka lewat politik etis. Karena sebelumnya bangsa kita terbiasa menggunakan huruf Arab Jawi dan huruf lokal mereka sendiri.
Jika ditarik ke belakang lagi, huruf Arab kan juga mengalami berbagi penyempurnaan dari pemberian guratan dan titik hingga pemberian harakat dan berbagai aturan. Di zaman Rasulullah, apakah al Quran sudah ditulis dengan bentuk seindah mushaf yang sekarang terjual bebas di toko-toko itu? Saat saya berkunjung ke Museum Kesenian Islam Malaysia dua tahun silam, saya melihat naskah al Quran kurang lebih seabad setelah Rasulullah wafat. Saya membelalak, “hah, kayak gitu ya bentuknya, itu huruf Arab?”. Bentuknya kufik tak berarturan, betapa sulitnya orang zaman dahulu membaca tulisan yang bentuknya saja tidak jelas dan susah dibedakan.
Jadi apa sebenarnya al Quran itu? Bacaan teksnya itu? Pertanyaan ini tentu akan membuat kita sibuk, terutama untuk keperluan masing-masing kita agar tidak salah dalam memahami kalam Allah ini. Pada akhirnya sebenarnya kita selama ini sering terjebak pada apa yang tampak secara materi saja tetapi tidak mengerti substanti yang seharusnya. Saya sendiri cukup merinding dengan runutan pertanyaan ini. Meski saya tidak yakin dengan pengertian hakikat tentang kalam Allah yang agung ini, setidaknya ada kesimpulan yang sejauh ini bisa saya ambil dari belajar ke banyak guru dan membuatku begitu takzim dengan apa yang diwariskan oleh Rasulullah ini. Makanya para hamilatul Quran (istilah ini lebih merepresentasikan bahwa pelakunya bukan saja penghafal Quran, tetapi juga pelaku nilai-nilai al Quran) memang sangat mulia.
Bagaimana dengan perkataan dan riwayat perbuatan Rasulullah? Tentu konteksnya berbeda dengan kalam Allah tadi. Metode konfirmasi dan klarifikasi tentang hadits ini membutuhkan perjuangan berdarah-darah agar bisa menjaga kemurniannya. Beberapa di antara para pejuang itu adalah Bukhari, Muslim, Nasai dan sebagainya yang berhasil mengabadikan hasil ijtihad mereka dalam mengidentifikasi informasi berkaitan dengan perkataan dan perbuatan Rasulullah selama masih hidup. Apakah 100 % benar? Siapa yang berani memastikan benar mutlak. Keputusan sahih tidaknya adalah ijtihad mereka, yang kita dengan segala kebodohan dan ketidakpatutan, tidak pantas mencela dan merendahkan usaha mereka. Tetapi meyakini 100 % ijtihad mereka itu sebagai kebenaran mutlak justru akan membuat kita terjatuh pada jurang ekstrim seperti kebanyakan kaum taklid buta macam sekarang yang suka bikin kegaduhan di tengah-tengah umat.
Maka dari itu, sungguh sebenarnya kandungan Islam itu paling kuat terbawa pada muatan akhlak para guru. Makanya kita diminta mencari guru itu berdasarkan akhlaknya, baru kemudian wawasannya. Islam mewariskan peradaban yang terhormat, karena ia bersifat memanage peradaban manusia manapun. Ia memuliakan adat yang memang sesuai dengan sunnatullah dan membenahi hal-hal yang tidak sesuai dengan sunnatullah. Itulah kenapa ketika Islam memasuki dunia Arab, tradisi perang, merampas harta dan kawin dengan banyak wanita bisa dihentikan, sehingga bangsa Arab ketika itu tumbuh menjadi bangsa terhormat. Dan ketika Islam menyapa peradaban manapun, selalu terjadi proses perubahan kebudayaan yang halus dan indah. Jangan tanya bagaimana indahnya budaya Melayu dan Jawa di tangah ulama waliyullah itu. Jangan tanya lagi indahnya syair-syair karya Hamzah Fansuri, yang oleh orang-orang berpikiran liberal sekalipun beliau disebut sebagai perintis akar Bahasa Indonesia. Kita bisa melihat bagaimana Islami-nya bahasa Jawa seandainya kita mengerti dan bisa memeliharanya dengan baik sesuai kaidah-kaidah yang telah diwariskan walisanga, khususnya Kanjeng Sunan Kalijaga.
Tapi entahlah, akhir-akhir ini wajah Islam menjadi kian tertutupi. Karena hal-hal yang berbau simbol dan materi menjadi dominan ke permukaan. Dipaksakan sebagai sesuatu yang paling Islam. Setiap orang sibuk menghakimi sesamanya dengan cara pandang materialistik yang berlebihan. Umat Islam kehilangan pijakan berpikir, yakni keras terhadap diri sendiri dan lembut terhadap yang lain. Kebanyakan kita justru sebaliknya, abai terhadap diri sendiri dan kebanyakan kepo pada yang lain.
Akhirnya orang sibuk berdebat tentang style fashion, bukan pada substansi bagaimana pembentukan akhlak menjaga auratnya. Ya iyalah, jualan pakaian jadi itu bisnis menjanjikan, ketimbang membumikan konsep aurat sehingga setiap orang dengan kesadarannya memiliki kreativitas fashion masing-masing. Orang sibuk berdebat soal boleh tidaknya begini begitu, tanpa diajak merunut sejarah begini begitunya. Padahal dengan sejarah seseorang bisa mengerti apa yang menjadi permasalahannya, bukan hanya nyari gampang dengan tanya fatwanya. Kalau cuma ngejar legitimasi fatwa, beda kepala akan terjadi beda pemikiran. Yang tidak mengakui kebedaraan MUI saja banyak, dari umat Islam sendiri lho. Apa yang nggak ngakuin MUI lantas dihukumi kafir dan halal diperangi?
Pada akhir refleksi ini, apakah kita tidak berpikir bahwa kejadian di atas adalah salah satu bukti kecil dari pemberhalaan materi dan simbol. Kita begitu mudah berdebat satu sama lain pada persoalan yang tampak secara berlebihan. Apalagi ini zaman baper, dimana setiap orang bisa tiba-tiba ikut membenci sesuatu hanya akibat arus utama mengatakan dia harus dibenci. Manusia menjadi semakin tidak independen dengan hidupnya sendiri. Bahkan untuk bertemu Allah saja, urusannya jadi ruwet kayak sekarang.
Yang materi itu memang asyik kan. Saya menasihati diri saya sendiri. Yang namanya urusan duit, wajah ayu, dan daging (dalam arti makanan maupun yang lain) hari ini seolah menjadi obsesi kebanyakan orang, hatta yang jidadnya hitam sekalipun. Inilah kesuksesan pengaruh Dajjali membajak pikiran dengan meminjam simbol-simbol agama.
Tapi dari semua itu kita diberi kebebasan untuk bertahan atau ikut-ikutan. Semua terserah kita, dan tidaklah kita mempertanggungjawabkan ke hadapan Allah kecuali apa yang kita perbuat sendiri. Jamaah yang kita ikuti, baiat kepada kiai yang kita takzimi, ideologi yang kita ikuti tidak akan berguna sedikitpun jika itu justru menjadi berhala di kepala kita. Karena yang bisa menyelamatkan kita ya tauhid kita yang lurus dan kecintaan kita pada Rasulullah dengan sesungguh-sungguhnya. Lalu kita menjadikan aktivitas berjamaah sebagai implementasi dari tauhid itu, kita hormat kepada guru sebagai bagian dari akhlak yang dicontohkan kanjeng Nabi, dan kita menjauhi segala ideologi yang memang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip al Quran.
Kita bebas memilih tentang hidup ini, baik kita sudah siap bertanggung jawab atau belum, kita bebas, bebas memilih jalan hidup ini. Dan dakwah itu menyeru, bukan memaksa, apalagi mengintimidasi hingga menghilangkan nyawa.
Juwiring, 22 Desember 2015