Kebiasaan menebar hoax, suka berkubu dengan fanatik, hingga bertengkar dengan teman sendiri sesama muslim (apalagi pada orang yang tidak dikenal), boleh jadi ya efek dari KEBENCIAN yang bersemayam dalam hati kita.

Saya sendiri dulu-dulunya juga termasuk yang kena virus itu. Lalu ya sebisa-bisanya memupusnya dan semoga tidak diizinkan lagi oleh Allah membenci, cukup anyel saja. Misalnya status saya diganggu orang yang tidak saya kenal lalu dia tiba-tiba nimbrung bagai orang yang sedang tidak jangkep akalnya. Di awalnya saya anyel, setelahnya saya kasihan.

Permusuhan secara massal, apalagi pakai senjata, konyol lagi senjatanya pakai medsos, menurut saya adalah hal yang paling tidak masuk akal di zaman ini. Wong saling membenci secara massal itu saja perkara aneh kok. Saya sepakat dengan pengajaran Islam sebagai agama cinta, sehingga tidak mungkin kita itu tegaan pada siapa pun, apalagi pada orang-orang yang tidak pernah kita kenal latar belakangnya.

Apalagi kalau baca sejarah kekuasaan Islam, bagaimana Utsman bin Affan wafat karena provokasi kebencian yang diujarkan oleh Abdullah bin Saba’, Ali bin Abi Thalib juga wafat di tangan orang yang secara dzahir dikenal ahli ibadah dan shalat malam, Husain bin Ali yang wafat dibantai hanya karena tidak mengakui eksistensi politik kekuasaan Dinasti Umayah. Itu adalah zaman yang masih dekat dengan zamannya Rasulullah, bagaimana kebencian mengubah situasi umat Islam ke dalam permusuhan yang sangat mengerikan.

Wajah kekuasaan Islam dari masa ke masa sebenarnya lebih banyak dipenuhi cerita-cerita mengerikan tentang pembantaian dan perebutan kekuasaan. Kenapa kok itu malah jadi semacam acuan dalam Sejarah Kebudayaan Islam. Padahal keindahan wajah peradaban Islam itu justru lewat sentuhan para ulama. Mereka yang memilih menyepi dari arus kekuasaan, hanya kadang-kadang saja menjadi bagian dari kekuasaan jikalau penguasanya kebetulan adalah seorang yang adil.

Dari tangan para ulama ini, lahirlah kebudayaan Islam di setiap zamannya. Mereka mewariskan tradisi-tradisi yang baik untuk mengubah tradisi sebelumnya yang dipandang tidak sesuai dengan Islam. Tapi tradisi-tradisi itu pun kini sedang dibuldozer oleh sebuah gerakan aneh yang dinisbatkan pada Ibnu Taimiyah. Padahal ada banyak ulama besar di zamannya, mengapa hari ini hanya beliau saja yang sengaja dibesar-besarkan untuk sebuah tujuan hegemoni baru atas nama “Islam Puritan” atas tradisi Islam-Islam yang telah tumbuh menyejarah di setiap daerah yang dulu telah didakwahi para ulama.

Ada banyak hal yang perlu kita pertanyakan. Terutama menyejajarkan ulama dengan para penguasa sebagai dua keping mata uang. Mengapa tidak kita gunakan terminologi bahwa Allah mengutus Nabi dalam jumlah yang banyak tetapi hanya mengutus beberapa Rasul untuk menegakkan risalah-Nya. Siapakah pewaris Nabi? Ulama. Siapakah pewaris Rasul? Penguasa yang adil. Maka aneh sekali jika Islam dianggap eksis jika dan hanya jika ada kekuasaan Islam yang berdiri. Sehingga ketika kita tidak lagi punya khalifah yang berkuasa, lantas kita mengatakan Islam sedang hancur. Kata siapa?

Islam adalah nilai dan sumur dari cinta kasih. Ia kebenaran hakiki yang diturunkan Allah dari langit lewat lisan dan perilaku kehidupan mulia para Nabi dari masa ke masa dan disempurnakan oleh risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Mengapa sebuah nilai kelembutan yang sanggup mengubah peradaban itu sekarang diklaim sebagai alat bermusuhan satu sama lain.

Siapa yang membuat imperium Mongol yang sangat kuat dan kejam menjadi kesultanan-kesultanan Islam setelahnya? Dakwah para ulama. Siapa yang membuat bangsa Persia dan Romawi Timur yang awalnya sangat percaya diri dengan ketinggian peradabannya akhirnya bersedia ke pangkuan Islam? Dakwah para ulama. Siapa yang tetap bertahan bersama umat, ketika penguasa-penguasa Islam berkhianat dan memilih menjadi boneka penguasa-penguasa kolonial Eropa pada zaman renaisans Eropa? Ulama.

Jadi alangkah ruginya umat Islam hari ini, jika fokus pikirannya cuma melulu tertuju pada fenomena-fenomena politik yang sesungguhnya bukan politik. Itu adalah fenomena bisnis paling kotor dan paling menjijikkan dalam sejarah peradaban kita saat ini. Karena penuh dengan bias dan manipulasi yang jauh dari tradisi jual beli yang jujur. Politik yang sesungguhnya adalah politik yang dijalankan para pemuda masjid dan ulama di desa-desa terpencil yang mendidik masyarakatnya mandiri agar tidak tergantung pada situasi ekonomi dan politik global yang penuh dengan kecurangan dan manipulasi di segala bidang.

Bagi umat Islam, negara bukanlah keharusan. Ia cuma sarana yang terkadang bisa menimbulkan mudlarat dan menghalangi umat Islam sendiri untuk menjalankan kewajiban hakikinya sebagai khalifah. Makanya cara umat Islam melihat negara tidaklah dengan menjadikannya sebagai junjungan kekuasaan, karena tugas umat Islam adalah membela negeri, bukan menjadi penguasa absolut seperti Firaun atau diktator lainnya.

Bukankah Allah menghamparkan bumi ini untuk dimanfaatkan bersama? Jika ada yang mengklaim hak milik atas tanah secara tidak adil dan rakus, maka itulah kezaliman. Bukankah Allah meniscayakan perbedaan atas manusia di bumi ini? Jika karena perbedaan-perbedaan itu kita bertengkar dan saling membasmi satu sama lain, maka itulah kezaliman. Bukankah Allah menghukumi setiap manusia itu atas perbuatanya sendiri? Jika hari ini terjadi pemaksaan-pemaksaan hak-hak pribadi dan terjadi perubahan gejala-gejala sosial terkait kebiasaan hidup seperti dalam orientasi seksual, keyakinan, hingga pola hidup yang sangat konsumtif, bukankah itu sebenarnya sebuah rekayasa sosial yang sangat zalim.

Musuh besar umat Islam dan umat manusia seluruhnya adalah ketidakadilan. Jika ia melekat pada penguasa Islam sekalipun, maka harus dilawan. Dan perlawanannya tidak melulu dengan pedang, tapi dengan kerja keras untuk mandiri dan tidak menjadi bagian dari pendukung ketidakadilan itu.

Mungkin dalam menemukan kebenaran dan menerapkan keadilan itu, kita sering salah jalan. Di situlah kita saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Jadi kapan kita akan berhenti menguar urusan-urusan perkubuan politik dan ejek-ejekan melebihi keinginan membangun aliansi-aliansi untuk membela saudara-saudara kita yang kini digusur rumahnya, yang mau dirusak ekosistem lingkungannya, dan membela eksistensi hewan serta tumbuhan yang dihancurkan oleh kerasukan para kapitalis global di sekitar kita? Atau malah tetap ingin ribut pada urusan subuh itu pakai qunut atau tidak dan urusan-urusan preketek semacam PILKADA mbelgedes itu?

Juwiring, 20 Mei 2017

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.