Bahasa menunjukkan umur peradaban. Makin detil dan lengkap perbendaharaan kosa katanya, maka semakin menunjukkan usia peradaban itu semakin tua. Hanya, modernitas menawarkan sesuatu yang praktis dan serba gampang sehingga kita mengalami pembodohan secara perlahan karena kemampuan identifikasi tidak sedetil nenek moyang kita.
Nenek moyangku bangsa Jawa sudah mengajarkan identifikasi yang sangat detil tentang bau (amis, prengus, badeg, tengik, pesing, apek dll) untuk menjelaskan bau secara kualitatif berdasarkan penyebabnya. Bahkan soal jatuh (jiglok, kecenek, kepleset, kejlungup, kejungkel, klumah, dll) pun jelas secara definitif. Bahasa ini mendefinisikan setiap peristiwa di alam kehidupan dengan sejelas-jelasnya sesuai dengan alam yang ada.
Sebagaimana al-Quran juga diturunkan oleh Allah dengan pilihan kosa kata yang luar biasanya indahnya. Variasi-variasinya sebenarnya sangat indah. Tapi kadang muncul anggapan bahwa terjemahan al-Quran itu adalah arti dari kalimat-kalimat al-Quran itu sendiri. Padahal bahasa Indonesia sangat tidak memadai untuk menjelaskan makna dari al-Quran tersebut.
Jadi cara berbahasa kita pun ternyata dapat menjadi indikator kedewasaan, apakah masih kekanak-kanakan atau mengalami proses pembelajaran menuju kematangan. Bahasa persatuan seharusnya ditempatkan untuk proses penyatuan kebangsaan agar dapat bersambung komunikasi dan persaudaraannya. Tetapi untuk mengidentifikasi alam dan pengembangan daerah, apakah kita akan memaksa setiap daerah di Nusantara ini menggunakan cara pandang Jakarta, sementara kata-kata produksi Jakarta tak mampu menjelaskan realita di lokal masing-masing.
Ini PR besar cendekiawan yang hari ini kuliah. Kecuali kita memilih menyerah untuk beriman pada ilmu-ilmu impor secara total. Maka membangun alam kita dengan mesin Barat memang tak menghasilkan kecuali kerusakan. Tirulah mereka membuat mesin, tapi jangan menggunakan mesin mereka sak klek di sini.
#RefleksiMalam
Surakarta, 2 Juni 2015