Ini hanya sebuah refleksi atas rangkaian kejadian yang tidak logis dan tidak beralasan yang kerap terjadi beberapa waktu belakangan. Ceritanya saya pernah baca tulisannya mas Puthut Ea (bosnya mojok.co) tentang klise bangsa ini yang menganggap tindakan salah sebagai hal biasa sekaligus menjadi sulit percaya pada ketulusan dan kebaikan yang dilakukan orang lain, kebanyakan akan selalu curiga bahwa pasti ada motif di belakangnya.

Mengapa hal itu bisa terjadi? Boleh jadi sebabnya beberapa hal ini: 1) fanatisme buta; 2) tidak membaca informasi dari silsilah sumbernya yang benar; 3) dasare nggatheli, mung clekopan wae.

Pertama, fanatisme buta adalah salah satu problem serius yang merusak keguyuban kita. Sebelum ada media informasi yang begitu mendekatkan kita satu sama lain mungkin hal ini menjadi terlalu terlalu bermasalah, baik fanatisme buta dalam berparpol maupun berormas. Tapi begitu era SMS, terlebih era medsos datang, kita saksikan bagaimana ke”nganu”an itu menjadi-jadi. Gila boy.

Fanatisme buta ini membuat masyarakat sekarang permisif pada kesalahan, bahkan kesalahan fatal, lalu membiarkannya. Karena cinta buta pada parpol, ormas, atau apa pun embel-embel perkumpulan, otokritik menjadi mati. Ya mungkin tetap ada satu dua tetap kritis, tapi ini era medsos Bung. Satu menulis kritik, ribuan lainnya nawur kritikmu baik dikirim secara resmi, lewat surat kaleng atau status Facebook. Nek wis ngono, po ra modar sing ngritik. Pilih meneng wae to. Karena para penawur tadi jelas kalangan fansboy yang rata-rata wegah mikir dan suka bawa-bawa perasaan. Matinya otokritik jelas problem serius. Dikritik dari dalam saja tidak bisa, lha apa lagi dikritik dari luar.

Menurut saya sama aja gemblungnya mau jadi Jokower, Prabower, Gusdurian, Muhammadiyah Lover, NU Lover, PKS lover, PKI lover dan lover-lover lainnya kalau cara mencintainya cuma ala fansboy girlband atau boyband, yang modal cinta buta dan wegah mikir. Karena para lover macam ini sudah pasti akan menjadi para relawan tarung di mana pun, terutama di media sosial. Di situ kita bisa lihat betapa “nganu”nya mereka. Pokoke yen diejek, pasti dibela mati-matian, gantian ngejek. Sama aja, podo wae ra cethane.

Kedua, tidak membaca informasi dari silsilah yang benar. Ini juga problem serius di negeri yang konon menerapkan demokrasi, meskipun saya sendiri jangankan partainya, wong negara ini mulai saya ragukan eksistensinya. Jadi yo terserah saja. Tapi saya perlu membedah hal ini untuk pelajaran bersama. Rata-rata kebanyakan masyarakat kita belum terbiasa membaca, atau setidaknya bertanya pada pihak yang tepat. Tentu bukan semata-mata masyarakat yang sepenuhnya salah. Media, parpol dan pemerintah turut menyumbang ke”nganu” an ini. Sehingga bias informasi dan tidak relevannya sumber informasi kepada penggunanya menyebabkan kegaduhan selanjutnya.

Kita studi kasus saja. Mulai dari ormas Islam Muhammadiyah dan NU. Kebanyakan orang sekarang menilai hingga menjadi bagian kedua ormas itu lebih karena faktor yang tidak rasional. Jarang sekali yang membuka sejarah dan membaca dinamika yang terjadi selama satu abad ini. Atau paling tidak berniat untuk jadi jembatan, bukan eyel-eyelan mana yang paling benar. Maka tak heran jika Cak Nun sampai bikin sanepan, “yo saiki wis ra usah gelut nganggo qunut po ora, wong padha2 ora shalat subuhe, saiki wis ra usah gelut 11 rakaat apa 23 rakaat, wong padha2 ora shalat tarawihe”.

Kasus lain adalah perseteruan antara aswaja-wahabi-syiah. Domain ini sebenarnya bermula dari masalah pola pikir (ideologi). Maka seharusnya ditangani dengan dialog dan bertukat pikiran, lalu dibuatlah perjanjian. Wajar sekali bahwa orang aswaja itu yakin bahwa keyakinannya yang benar, demikian pula orang wahabi, pun juga orang syiah. Jika perbedaan itu dibuka di medsos, ditunggangi kepentingan bisnis dan politik, maka yang terjadi bukan dakwah lagi tapi pertarungan. Dan jika masing-masing kubu cuma bernafsu gelut, ya sudah selesaikan saja cara-cara tidak manusiawi itu sekalian biar klenger semuanya. Saya sendiri memilih tetap menyampaikan dakwah aswaja ini dengan santun dan intelek.

Kasus lainnya lagi adalah soal politik. Saya yakin mayoritas bangsa ini bukan pemilih ideologis dari parpol apa pun. Padahal baik tidaknya parpol secara normatif perlu dilihat dari visi misi dan renstranya. Apa parpol membuka ruang-ruang itu secara masif agar masyarakat mengaksesnya? Apa masyarakat mau membuka dan membacaya? Maka tidak perlu heran jika ada orang memilih PKB atau PPP karena ke-NU-annya, orang memilih PAN karena ke-Muhammdiyah-annya, hingga bahkan ada orang menuduh PKS mirip dengan PKI dan wahabi hanya dari melihat sebagian perilaku kadernya. Semua hanya bermodal prasangka dan kecenderungan perasaan saja.

Kabar gembiranya (baca:pilu) adalah elit parpol dan kadernya hari ini juga sudah kebanyakan “nganu”, pun pendukung fanatiknya jauh lebih “nganu”. Elit dan kader parpol jarang turun dalam fungsi edukasi politik, tapi kebanyakan cuma jadi sales, sementara masyarakat kita juga terlanjur jadi konsumen instan informasi. Dimediasi oleh media-media tai kucing akhirnya semakin gayenglah suasana. Dua ketololan yang ijab qabul setiap 5 tahun sekali ini akhirnya melahirkan bayi masalah yang ngglidik bukan main. Masalah ini terus membesar dan terus menambah kekisruhan negeri ini. Modyaarrrr!!!

Akhirnya, dari fanatisme buta dan disinformasi akibat tidak merujuk dengan silsilah informasi yang benar ini kita masuk dalam situasi yang benar-benar semrepet. Ditambah sedikit bakat clekopan dan nggatheli maka pertarungan antar kubu akan semakin abadi. Apa cara hidup semacam ini akan kita pertahankan? Menilai orang hanya dari opini dan status Facebooknya yang “nganu” atau nylekop tentang ulama sebagai tokoh begini dan begitu.

Saya jadi ngelus dada setiap ingat dengan artikel Cak Nun “Saya Anti Demokrasi”. Di artikel itu Cak Nun mengkritik orang-orang Barat yang mendiskreditkan Islam dan menilai jelek Islam hanya dari perilaku sebagian pemeluknya, bukan dengan mempelajari Quran. Maka beliau pun membalas bahwa ia menolak demokrasi karena perilaku Amerika Serikat yang suka mengganggu dan mencampuri urusan negara lain. Nah celakanya kita mulai jadi tukang stempel mirip orang-orang Barat yang semacam itu. Bahkan tak jarang, sebagai orang Islam kita malas belajar Islam, sebagai anggota Muhammadiyah atau NU kita tidak paham sejarahnya, dan mungkin sebagai orang parpol tidak kenal parpolnya sendiri, tapi sibuk mengejek yang lainnya.

Sungguh itu “nganu”. Kita memang masih suka “nganu”.

Surakarta, 20 Agustus 2015

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.