Susup menyusup itu pasti terjadi. Hanya saja, saya masih penasaran ketika peradaban Madinah ada, bagaimana cara umat Islam menangani para penyusup. Saya kagum dengan cara masyarakat Madinah mengatasi orang munafiq dan (mungkin) penyusup dari luar Madinah yang dimasukkan di kehidupan orang-orang shalih baik saat Rasulullah masih hidup maupun setelah wafatnya.

Coba cari info yang banyak, adakah eksekusi mati untuk para penyusup dan pengkhianat yang zahirnya terlihat baik di mata Rasulullah? Bahkan yang terang-terangan Allah buka kedoknya lewat surat al-Munafiqun justru Rasulullah shalatkan pemimpinnya di kala ia mati, atas permintaan sang putra. Rasulullah yang informasi intelejennya 100 % akurat saja memiliki kebijaksanaan yang begitu indah dalam memperlakukan manusia. Bahkan saat orang-orang beriman mengetahui dan hendak menghabisinya, Rasulullah yang mencegah dan membelanya, memberikan kesempatan hidup sampai Allah sendiri mencabut nyawanya.

Hal itu patut kita gali secara serius rahasianya agar hari ini kita tidak masuk dalam perangkap curiga tanpa bukti dan mencurigai hal-hal di luar batas kewajaran manusia. Karena hari ini “Kambing Hitam” sudah sering jadi bahan pencarian ramai-ramai. Tak jarang cocoklogi dilakukan untuk mencurigai orang lain dengan modal teori konspirasi yang entah diperoleh dari mana. Akibatnya seseorang bisa menghalalkan darah saudaranya yang lain dengan modal kecurigaan aneh tersebut. Sayangnya, penghalalan darah itu tidak benar-benar diwujudkan, melainkan hanya jadi ghibah dari mulut ke mulut, dari smartphone ke smartphone yang lain, dari pesan FB ke pesan FB yang lain. Paling banter jadi status Facebook dan debat lewat komentar saja.

Menurut hemat saya, teori kepenyusupan itu hendaknya dibatasi pada kondisi sebuah kumpulan yang secara anggota sudah jelas statusnya. Sehingga yang dinamakan penyusup adalah orang yang memiliki kredo berbeda dengan kumpulan yang dimasukinya, sehingga ia 100 % berpura-pura menjadi seperti anggota kumpulan tersebut. Lha kalau di tengah umat akhir zaman ini, bisakah kita sebut penyusup orang-orang yang saling tuding dalam sebuah rumah besar ormas maupun bangunan besar umat Islam. Atau bermanfaatkah kita saling mencurigai satu sama lain sebagai penyusup sementara kita tak yakin dengan informasi intelejen yang kita miliki?

Sudahlah, hentikan omong kosong semacam ini. Kita hari ini punya problem dua, yakni tidak siap dengan potensi perbedaan yang terjadi dan tidak bisa menghapus dendam sejarah yang terlanjur membara di antara kita. Dua hal itu adalah bahan bakar perselisihan yang awet hingga berabad-abad lamanya. Tak perlu lagi pedang, mesiu, dan pasukan besar untuk menghancurkan umat ini. Karena kita sendiri sudah menikmati pertikaian ini seolah sebagai rukun keenam dalam Islam.

Saya kadang bertanya, bisakah dalam hatiku setiap hari selalu dipenuhi rasa cinta yang besar, sehingga setiap kebencian yang timbul akhirnya lenyap oleh cinta itu, yang buahnya adalah doa-doa dan upaya positif untuk menyatukan umat ini. Ah, saya mah apa. Tapi ya setidaknya berusaha untuk itu agar tidak semakin tersesat kemudian.

Surakarta, 28 September 2015

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.