Sikap KH Ma’ruf Amin dalam merespon permintaan maaf nenek S dan pernyataan Prof. Yunahar Ilyas dalam merespon makian sebagian orang kepada KH Ma’ruf atas pilihan sikapnya itu, sebenarnya bisa menjadi bahan belajar bagi kita untuk mengidentifikasi akhlak para ulama sesungguhnya.

Dari perilaku mereka berdua ini, kita mendapatkan metode furqan yang jelas untuk mengidentifikasi mana kualitas ulama dan mana kualitas politisi. Karena tegaknya kehidupan manusia adalah ketika ulama mendapatkan kedudukan yang lebih tinggi dari politisi dalam hati umatnya. Penampilan boleh ulama, tapi watak politisi tidak bakal bisa disembunyikan.

Menempatkan politisi dan ulama di hati itu tanggung jawab umat Islam secara kolektif. Lahirnya kepemimpinan model sekarang yang memungkinkan para kapitalis memegang kendali atas negeri ini melalui tangan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tidak lepas dari kenyataan bahwa mayoritas umat Islam saat ini memang orientasi hidupnya sebenarnya uang. Kaum kapitalis menempatkan wayang-wayang yang mencitrakan dirinya sebagai nasionalis, pro rakyat, atau entah apalah di dalam setiap putaran pemilu. Lalu kita mengulangi untuk tertipu dan tertipu lagi.

Iya kita memang kere, tapi kita tidak menyadari kekerean kita sebagai sebuah hasil ketidakadilan. Justru kita mendendam pada kenyataan ini dan berharap bisa kaya agar bisa gantian menindas kere-kere yang lain juga. Jadinya meskipun kita kere, orientasi berpikir kita juga kapitalistik. Hanya saja kita diselamatkan oleh Allah dengan tidak memiliki pencapaian seperti 9 naga atau yang lebih besar lagi dalam skala global. Jadinya kita masih bisa memutar balik pikiran kita untuk lebih melihat kekerean kita sebagai produk ketidakadilan. Dengan menyadari hal itu, kita melawan bukan karena ingin gantian kaya, tetapi menegakkan keadilan.

Kita tidak sungguh-sungguh meletakkan ulama dalam hati sebagai pemimpin kita yang melanjutkan perjuangan para nabi dan rasul. Yang kita sembah adalah kesejahteraan. Yang kita ikuti adalah segala bentuk fikih dan pengamalan syariat yang menguntungkan secara materi pada diri dan kelompok kita sendiri hingga tidak segan-segan untuk merendahkan sesama saudara seiman. Dan sayangnya ada juga sosok-sosok yang tampil sebagai ulama, tapi ternyata mereka adalah pedagang yang memanfaatkan agama untuk alat pemasaran saja.

Saya tidak pernah mempermasalahkan orang jadi ulama atau jadi politisi atau menjadi ulama yang politisi atau politisi yang ulama. Tetapi yang saya persoalkan adalah kita ini kebanyakan menempatkan politisi di atas maqam para ulama. Para politisi itu kan tahunya berkompetisi untuk sebuah kekuasaan. Sementara kekuasaan itu hanya bagian dari sebuah instrumen kepemimpinan. Kepemimpinan itu manifestasi dari kekhalifahan. Sehingga sebenarnya tidak masalah ketika kekuasaan umat Islam itu pasang surut, asal hati umat tidak surut dalam mengikuti para ulama sejati mereka.

Sayangnya hari ini kita terlanjur memiliki persepsi bahwa kepemimpinan sama dengan kekuasaan. Lalu dengan lucunya kita katakan bahwa presiden adalah pemimpin kita. Akhirnya kita semua gaduh dalam sebuah perjalanan menuju kehancuran bersama karena menuhankan materi. Kita selalu memilih berkubu dengan berbagai dalil, hingga kezaliman yang terang di depan mata tak sanggup membuat kita bersatu untuk menghadapinya. Yang lebih celaka, Allah membiarkan itu menimpa kita sebagai akibat dari kesyirikan yang kita lakukan selama ini.

Surakarta, 11 April 2018

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.