Yang namanya kekuasaan, ia adalah pisau bermata dua. Belajar dari sejarah, berapa yang bisa ngempakke untuk kemakmuran dan berapa yang gagal. Cukuplah sejarah menjadi guru agar kita tidak rebutan dan cakar-cakaran untuk perkara yang bikin eneg itu.

Karena hakikat manusia itu sebenarnya merdeka satu sama lain. Makanya Allah ngasih agama, agar kemerdekaan itu dipandu dengan agama sehingga ketika hidup berdampingan, semua berusaha menyelami kehendak-Nya, tidak saling menindas satu sama lain.

Dengan agama itu manusia mengerem dirinya sendiri untuk tidak mencuri hak saudaranya, tidak menganiaya, tidak merampas kebebasan orang lain, dan tidak melakukan tindakan yang menyakiti harkat kemanusiaan yang telah Allah anugerahkan pada manusia.

Dengan agama itu, manusia memiliki patokan untuk membuat perjanjian, membentuk sebuah kesepakatan, mendirikan lembaga untuk mengatur, dan mengetahui batas-batas hak dan kewajiban satu sama lain. Jadi dari agamalah lahir kesadaran untuk mewakilkan urusan, bukan dari kekuasaan lalu memaksa yang lainnya.

Maka siapa pun dan apa pun yang bicara kekuasaan untuk mengatur dan mengendalikan orang lain, menurutku sudah melampaui batas. Kekuasaan bagi seorang pemimpin itu hendaknya membuatnya semakin sadar bahwa ia punya kesempatan menyadarkan manusia yang lain agar juga belajar menjadi pemimpin.

Kehidupan manusia yang ideal itu manakala masing-masing individu mampu membuat perjanjian satu sama lain dan saling melaksanakan hasil kesepakatan perjanjian itu. Kondisi ideal ini tercipta manakala nilai-nilai ilahiyah merasuk dalam sanubari masing-masing orang. Pernahkah ini terjadi? Pernah. Di mana? Di madinah. Kapan? 14 abad silam. Buktikanlah.

Surakarta, 28 September 2015

Tinggalkan Balasan

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.